Berbagai bentuk ekstraktivisme 'hijau' menyebabkan kerusakan hutan Amazon

Gambar
B269_amazonia
Deforestasi di Amazon Brasil. Foto: V. Mendonça/Ibama

Bahkan dari jauh, Amazon menarik imajinasi orang-orang karena wilayah ini adalah rumah bagi hutan hujan dan sungai terbesar di dunia. Amazon mencakup delapan negara, serta wilayah Guyana Prancis yang diduduki Prancis. Anak-anak sungai Amazon mengalir melalui beberapa negara Amazon, termasuk Sungai Madeira dan Tapajós di Brasil, Sungai Madre de Dios di Peru, Sungai Guainia di Kolombia, dan Sungai Beni di Bolivia. Sekitar 385 kelompok Masyarakat Adat menghuni wilayah tersebut, serta sebagian besar masyarakat adat yang tersisa di dunia dalam isolasi dan menolak kontak dengan dunia luar.

Banyak buku dan ilustrasi telah mendokumentasikan kehebatan dan keanekaragaman spesies Amazon. Dan dalam beberapa tahun terakhir, gambar-gambar indah Amazon juga telah ditampilkan dalam propaganda perusahaan transnasional —terutama dari negara-negara Utara— sebagai upaya untuk menunjukkan kepedulian terhadap hutan Amazon. Namun tersembunyi di balik kertas-kertas mengkilap ini terdapat berbagai bentuk ekstraktivisme 'hijau' yang menyebabkan kehancuran hutan hujan Amazon saat ini.

Deforestasi dan degradasi hutan di Amazon

Lebih dari separuh deforestasi skala besar di Amazon disebabkan oleh tiga aktivitas khas, yang seringkali terjadi secara bersamaan: penebangan kayu, penggembalaan ternak , dan agribisnis . Hal ini menjelaskan mengapa Brazil dan Bolivia, dimana sebagian besar kegiatan ini terkonsentrasi, memiliki tingkat deforestasi tertinggi —tidak hanya secara regional, namun juga di seluruh dunia. Sementara itu, degradasi hutan – sebuah fenomena yang antara lain disebabkan oleh penebangan hutan dan kekeringan– kurang mendapat perhatian dibandingkan deforestasi. Hal ini terjadi meskipun terdapat fakta bahwa degradasi hutan memberikan dampak negatif terhadap wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan dengan deforestasi skala besar. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2023, sekitar 38% dari sisa hutan di Amazon telah terdegradasi (1).

Deforestasi paling parah terjadi pada musim kemarau, yang disebabkan oleh ribuan kebakaran hutan. Kebakaran ini bukan hanya sekedar bencana lingkungan yang tidak menguntungkan. Di Brasil, misalnya—yang merupakan wilayah dimana 60% hutan Amazon berada— kebakaran hutan merupakan alat politik yang memfasilitasi perampasan lahan publik oleh pertanian skala besar, penggembala ternak, dan perusahaan agribisnis. Setelah hutan ditebang, jalan dibangun untuk mengambil kayu-kayu berharga tersebut dan membawanya ke pasar nasional dan internasional. Hal ini kemudian memungkinkan para penggembala ternak untuk mengakses area tersebut, dan membakar lahan untuk menanam rumput. Setelah penggembalaan ternak menghabiskan lahan, perkebunan monokultur kedelai skala besar sering kali menjadi penggunaan lahan selanjutnya. Pola yang sama terjadi di Bolivia.

Sertifikat tanah (seringkali dipalsukan) memberikan kesan legal atas proses yang jelas-jelas liar atau ilegal di sepanjang proses penggundulan hutan dan penggunaan lahan untuk penggembalaan ternak dan/atau produksi kedelai. Masyarakat yang menghuni lahan-lahan tersebut – termasuk masyarakat adat, masyarakat tradisional dan/atau masyarakat yang tinggal di tepi sungai – sering kali menghadapi penggusuran dengan kekerasan dari tanah mereka, karena mereka menyaksikan sendiri bagaimana deforestasi menghancurkan mata pencaharian mereka. Menurut Global Witness, pada tahun 2022, “satu dari lima pembunuhan terhadap pembela HAM di seluruh dunia terjadi di Hutan Hujan Amazon” di mana “kekerasan, penyiksaan dan ancaman merupakan kenyataan yang dialami oleh masyarakat di seluruh kawasan” (2). Serta perusahaan agrobisnis dan perusahaan daging transnasional memperoleh keuntungan terbesar dari proses ini (3).

Sejak penjajah mendatangi wilayah ini, pembalakan kayu tropis yang bernilai tinggi dan merusak telah menjadi penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan di wilayah tersebut. Jika dulu kayu ini menghiasi istana, gereja, dan rumah mewah para elit kolonial di Eropa, kini kayu ini menghiasi mobil dan perahu mewah para elit bisnis di Eropa dan tempat lain di dunia. Penebangan hutan 'hijau' diperkenalkan pada tahun 1990an dengan nama 'Pengelolaan Hutan Lestari' (SFM). Namun pengalaman masyarakat yang bergantung pada hutan menunjukkan bahwa pembalakan industri, bagaimanapun cara praktiknya, pada dasarnya merusak penghidupan mereka dan hutan. Terlepas dari banyaknya propaganda seputar kayu 'hijau', sebagian besar penebangan masih dilakukan secara ilegal. SFM berperan penting karena dapat memberikan kesan legal pada kayu yang ditebang secara liar melalui praktik pencampuran kayu yang ditebang secara legal dan ilegal (4). Dalam beberapa tahun terakhir, penambangan kayu balsa menjadi tren baru. Karena ketahanannya yang kuat, kayu ini digunakan dalam produksi kincir angin di Tiongkok. Di Amazon Ekuador, penebangan hutan untuk mendukung gerakan 'transisi hijau' dalam perekonomian kapitalis telah menyebabkan gelombang kehancuran lain (5).

Setelah hutan ditebang untuk mendapatkan kayunya yang berharga, penggembalaan ternak biasanya merupakan kegiatan pertama yang diperkenalkan di wilayah Amazon. Meskipun negara-negara lain yang memiliki kawasan hutan tropis yang luas, seperti Republik Demokratik Kongo atau Indonesia, memiliki penyebab deforestasi yang hampir sama dengan Amazon —seperti penebangan kayu dan pertambangan— penggembalaan ternak bukanlah penyebab utama di negara-negara tersebut. Namun, di Amazon, tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan salah satu penyebab langsung deforestasi terbesar —khususnya di Brasil, Bolivia, Peru, dan Kolombia. Penggembalaan ternak tidak hanya merupakan kegiatan yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik lahan luas, namun seringkali petani skala kecil melihat ini sebagai satu-satunya peluang; Oleh karena itu, mereka juga mempraktikkannya, baik terlibat dalam skema kolonisasi negara atau sebagai migran yang berusaha bertahan hidup. Para petani skala kecil inilah yang disalahkan atas deforestasi dalam banyak laporan resmi yang dibuat oleh pemerintah, perusahaan konsultan, bank dan LSM konservasi mengenai 'masalah deforestasi' di Amazon. Sementara itu, para peternak besar dan investor mereka, yang bertanggung jawab atas sebagian besar deforestasi skala besar, sering dipuji atas inisiatif 'hijau' mereka yang dianggap dapat menghentikan deforestasi. Namun di balik propaganda mereka, aktivitas merusak namun sangat menguntungkan ini terus berlanjut.

Selain penggembalaan ternak, agribisnis monokultur seperti kedelai, jagung, padi, sawit, dan tebu juga merupakan penyebab langsung utama rusaknya hutan Amazon. Kedelai adalah tanaman terbesar, dengan jutaan hektar perkebunan di Brazil dan Bolivia. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit berkembang di wilayah Amazon, di Ekuador, Kolombia, Peru dan Brazil; ada juga rencana untuk memperluas perkebunan sawit di Amazon Bolivia. Sebuah artikel dalam buletin ini menggambarkan kekerasan dan penindasan yang dihadapi masyarakat adat, komunitas quilombola, dan komunitas petani dari dua perusahaan sawit besar di negara bagian Pará. Artikel ini menjelaskan dampak dari kegiatan ini, serta bagaimana organisasi dan perjuangan masyarakat untuk mendapatkan kembali tanah mereka.

Di wilayah yang semakin kering akibat perubahan iklim, air secara khusus telah terkena dampak monokultur kedelai, jagung, dan sawit dalam skala besar. Area yang lebih luas dari sekedar area perkebunan terkena dampaknya, bukan hanya karena konsumsi air yang sangat besar dari aktivitas ini, namun juga karena airnya telah terkontaminasi dengan bahan kimia pertanian. Peneliti Brazil Larissa Bombardi menyebutnya 'kolonialisme kimia', yakni ketika negara-negara Eropa yang mengendalikan sepertiga penjualan bahan kimia pertanian global menjual agrotoksin yang dilarang di negara mereka ke Brasil—yang saat ini merupakan importir bahan kimia pertanian terkemuka di dunia. Menurut Bombardi, 'Ketika kami memikirkan kolonialisme klasik, kami memikirkan tentang kekerasan fisik dan penggusuran masyarakat; namun kami melihat hal ini terjadi sekarang dalam konflik tanah dimana Masyarakat Adat dibombardir dengan bahan kimia pertanian' (6).

Pertambangan juga merupakan salah satu penyebab langsung deforestasi, khususnya di negara-negara seperti Brasil, Venezuela, Kolombia, Bolivia, Suriname, Guyana, dan Peru. Konsesi pertambangan industri mencakup 18% wilayah Amazon. Kegiatan pertambangan untuk mengekstraksi tembaga, timah, nikel, bijih besi, bauksit, mangan, dan emas semakin berkembang hingga ke Amazon. Perusahaan pertambangan dan pemerintah negara-negara industri saat ini melobi dan menekan pemerintah negara-negara di kawasan Amazon untuk menjamin akses terhadap mineral-mineral penting dalam 'transisi hijau' menuju 'ekonomi rendah karbon'. Namun di balik hal ini tersembunyi perusakan hutan dan masyarakatnya di tapak yang terus dilakukan oleh perusahaan pertambangan(7).

Pertambangan skala kecil telah menjadi praktik yang sudah berlangsung selama satu abad di Amerika Selatan. Namun, jumlah penambang skala kecil di Amazon saat ini diperkirakan berjumlah 500.000 orang, dan dampak pertambangan emas, khususnya, sangat besar. Mengingat peningkatannya yang eksponensial, kegiatan ini semakin dikendalikan oleh jaringan kejahatan terorganisir yang luas, yang juga mencakup tokoh-tokoh berpengaruh seperti politisi. Dan sekali lagi, perusahaan-perusahaan yang berbasis di negara-negara industrilah yang memperoleh keuntungan terbesar. Perusahaan-perusahaan Swiss, misalnya, mengimpor setidaknya 4,9 ton emas dari Amazon Brasil pada tahun 2021. Sebagian besar emas ini ditambang secara ilegal di wilayah adat, dan meninggalkan dampak kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan—selain pencemaran sungai dengan merkuri beracun yang sangat tinggi. (8).

Pertambangan juga bertanggung jawab atas ekstraktivisme air. Air sangat penting untuk pertambangan, sehingga banyak operasi pertambangan yang mengeruk lebih banyak air daripada bijih. 'Transisi hijau' dan dorongan untuk lebih banyak pertambangan cenderung memperparah dampak khusus ini, meskipun faktanya pertambangan menyebabkan lebih banyak deforestasi, perubahan iklim dan polusi (9). Sebuah artikel dari Kolombia dalam buletin ini menunjukkan bagaimana wacana tentang transisi hijau memberi insentif pada ekstraksi tembaga di zona transisi Andes-Amazon di Kolombia, dan menjelaskan bagaimana masyarakat menolaknya.

Kawasan konsesi tambang minyak dan gas, yang sebagian besar terletak di Peru dan Ekuador di Amazon Barat, berdampak besar terhadap hutan, air dan, khususnya, masyarakat adat. Namun ekstraksi ini juga telah memicu banyak perlawanan (10). Buletin ini memuat artikel yang menggambarkan kemenangan bersejarah rakyat Ekuador baru-baru ini, yang, melalui referendum dan suara mayoritas, memutuskan bahwa infrastruktur ekstraksi minyak di blok disebut ITT di dalam taman nasional Yasuní harus dibongkar, dan sisa minyak dibiarkan begitu saja di tanah.

'Ekstraktivisme hijau' menyebabkan ekstraksi minyak yang lebih parah sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan, termasuk di Amazon, dimana beberapa proyek ekstraktif baru sedang direncanakan. Perusahaan-perusahaan minyak dan gas serta pemerintah nasional di kawasan ini menyatakan bahwa untuk membiayai 'transisi' menuju 'perekonomian rendah karbon', diperlukan ekstraksi minyak lebih banyak. Perusahaan negara Brasil, Petrobrás, menggunakan argumen ini untuk membenarkan rencana mengekstraksi minyak di wilayah Margin Khatulistiwa (Equatorial Margin) yang terletak di lautan, sebelah utara wilayah Amazon (11).

Sejak tahun 1980an, sistem sungai besar wilayah Amazon telah menarik minat para pengembang bendungan pembangkit listrik tenaga air berskala besar. Perusahaan-perusahaan dari sektor ini mengklaim bahwa energi ini 'hijau' dan 'terbarukan', dengan emisi karbon nol. Namun, penelitian menunjukkan bahwa hal ini bohong; bendungan pembangkit listrik tenaga air menghasilkan emisi CO2 dan CH4, sehingga memperparah kerusakan iklim (12). Bendungan pembangkit listrik tenaga air juga merupakan penyebab utama deforestasi. Misalnya, proyek bendungan pembangkit listrik tenaga air Chepete dan Bala di Bolivia, beserta seluruh infrastruktur yang terkait dengannya —waduk, jalan, jalur transmisi, dll— akan memperluas deforestasi seluas 100.000 hektar, selain berdampak pada enam kelompok Masyarakat Adat di wilayah ini(13).

Semua penyebab langsung deforestasi memerlukan infrastruktur , seperti jaringan pipa, jalan raya, kereta api, pelabuhan dan jalur transmisi, yang selanjutnya meningkatkan deforestasi. Banyak proyek skala besar yang sedang berjalan merupakan bagian dari inisiatif disebut IIRSA, yang merupakan proposal untuk mengintegrasikan Amerika Selatan—dan, khususnya, banyak wilayah Amazon yang disebut 'kosong' dan 'terisolasi'—melalui energi, transportasi, dan proyek komunikasi yang melayani kepentingan pemilik modal. Salah satu proyek tersebut, yang menyebabkan peningkatan deforestasi di Peru, adalah Jalan Raya Lintas Samudera (Transoceanic Highway)—yang menghubungkan jantung Amazon ke pelabuhan laut di Peru, dari sana ke pasar Asia (14).

Ekstraktivisme hijau

Terkait kepentingan ekonomi di balik penyebab deforestasi yang baru saja dijelaskan, mekanisme REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) tidak pernah menjadi alternatif yang sungguh-sungguh. Para pelaku ini masih dapat terus mengeruk banyak uang dari kegiatan penebangan kayu, agribisnis, penggembalaan ternak, pertambangan, ekstraksi minyak, pembangkit listrik tenaga air, dan infrastruktur, alih-alih menjaga kelestarian hutan dengan menjual 'kredit karbon'. Inilah salah satu alasan mengapa deforestasi di Amazon terus berlanjut, dan mengapa kawasan ini memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Pada tahun 2022, 4,1 juta hektar hutan tropis di seluruh dunia hilang. Dari enam negara yang paling berkontribusi terhadap kerugian ini, empat negara berada di kawasan Amazon: Brasil, Bolivia, Peru, dan Kolombia. Artinya, negara-negara tersebut bertanggung jawab atas 60% kerusakan hutan tropis di seluruh dunia (15).

Perusahaan-perusahaan besar yang secara langsung atau tidak langsung berkontribusi terhadap deforestasi, seperti perusahaan penerbangan, mengklaim bahwa mereka 'netral karbon' karena melindungi sebagian kawasan hutan di Amazon. Dengan cerdiknya, perusahaan-perusahaan ini bahkan mengajak pelanggannya untuk menanggung biaya tersebut dengan membayar biaya tambahan selain tiket pesawat untuk memastikan perjalanan yang 'netral karbon' .

Program dan proyek sejenis REDD juga membenarkan pendirian lokasi ekstraksi minyak baru di dalam dan sekitar wilayah Amazon. Salah satu contohnya adalah dari Guyana. Pada bulan Desember 2022, pemerintah menjual kredit karbon senilai total 750 juta dolar AS untuk merealisasikan rencana ekstraksi minyak laut dalam yang direncanakan oleh perusahaan AS, Hess —yang merupakan jenis ekstraksi minyak yang paling berisiko— menjadi 'netral karbon.' Proyek ini diharapkan akan menebus emisi yang dihasilkan dari pembakaran minyak yang diekstraksi, dengan melindungi seluruh kawasan hutan, termasuk lahan masyarakat yang bergantung pada hutan (16).

Di banyak wilayah Amazon saat ini, sulit untuk menemukan masyarakat adat yang belum didekati oleh perusahaan atau LSM konservasi yang mempromosikan 'ekstraktivisme hijau' REDD dan menginginkan mereka menandatangani kontrak. Sebuah artikel dalam buletin ini menjelaskan modus operandi perusahaan karbon AS, Wildlife Works, di wilayah Ka'apor di Maranhão, dan mengapa Ka'apor menganggap kontrak tersebut berisiko terhadap otonomi mereka.

Kekacauan iklim di Amazon

Karena REDD tidak melakukan apa pun untuk menghentikan deforestasi dan perubahan iklim, pada tahun 2023 Amazon mengalami kekeringan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan penurunan drastis permukaan air sungai. yang berdampak buruk pada cadangan ikan dan mata pencaharian penduduk di tepi sungai. Pemanasan global membawa Amazon semakin dekat dengan apa yang oleh para ilmuwan disebut sebagai 'titik kritis'. Mereka memperingatkan bahwa jika hal ini tidak terjadi, dalam beberapa dekade mendatang Amazon akan berubah menjadi wilayah yang berbeda dan jauh lebih kering—sebanding dengan bioma sabana (17).

Dengan Amazon menjadi sorotan internasional, aktivitas perusakan hutan seperti industri pertanian telah meluas dan kehancurannya semakin intensif di wilayah lain yang berhubungan dekat dengan Amazon—seperti wilayah sabana di sekitarnya. Karena kawasan-kawasan ini kurang dilindungi dan kurang mendapat sorotan, kini kawasan-kawasan tersebut mengalami kerusakan yang jauh lebih besar dan lebih cepat. Salah satu dari beberapa masalah dengan undang-undang anti-deforestasi Uni Eropa, yang mulai berlaku pada tahun 2023, adalah undang-undang tersebut hanya berfokus pada Amazon; legislasi ini tidak berfokus pada perluasan agrobisnis, perkebunan industri, dan pertambangan dalam skala besar ke kawasan sabana Brasil. Pada tahun 2023, deforestasi di wilayah cerrado Brasil meningkat sebesar 43% (18). Karena konektivitasnya dengan wilayah Amazon, hal ini juga berdampak besar pada Amazon. Dan terlepas dari semua wacana tentang perlunya menyelamatkan hutan Amazon di arena internasional—seperti sidang PBB dan konferensi iklim dan keanekaragaman hayati PBB—di ruang konferensi lain, menteri ekonomi dan perdagangan dari pemerintah Mercosur (Brasil, Paraguay, Argentina dan Uruguay) dan Uni Eropa sedang dalam proses menyelesaikan perjanjian perdagangan bebas. Perjanjian ini bertujuan untuk meningkatkan ekspor dari Brazil, negara Amazon terbesar di Mercosur, yang akan meningkatkan tekanan terhadap wilayah tersebut dan menyebabkan lebih banyak kerusakan (19).

Perlawanan

Ketika anggota masyarakat Amazon mempunyai kesempatan untuk membela kepentingan mereka di forum nasional atau internasional, di mana kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi masa depan Amazon dibahas, seacara umum, mereka mengalami kekecewaan. Di forum internasional, hasil dari diskusi tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan perusahaan transnasional dan LSM konservasi besar, yang ingin mengakses dan mengendalikan kawasan ini karena banyaknya komoditas—termasuk kredit karbon—yang dapat mereka peroleh di sana dan keuntungan yang dapat dihasikan.

Masyarakat Amazon juga mempunyai pengalaman yang sama mengecewakannya dengan pemerintah nasional di kawasan Amazon, yang mengklaim 'kedaulatan' atas kawasan Amazon dan sering menyebutnya sebagai 'milik kami'. Pendekatan 'kolonial' pemerintah di wilayah ini tidak dapat diabaikan, mengingat mereka secara aktif mendukung kepentingan pemilik modal yang mendorong invasi dan penghancuran wilayah tersebut. Mereka sering melakukan hal ini atas nama 'pembangunan'. Namun, pengalaman luas dengan banyak proyek berskala besar yang dilaksanakan sejauh ini di kawasan ini menunjukkan bahwa 'pembangunan' tidak sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat adat, komunitas tradisional dan masyarakat sungai Amazon, atau kelompok anggota masyarakat yang semakin signifikan saat ini. mendiami wilayah perkotaan di wilayah tersebut.

Karena kebijakan dan proyek ekstraktif terus dilaksanakan, dan dengan demikian segala jenis kekerasan yang menyertai model ekstraktif terus berlanjut, masyarakat mulai menciptakan dan memperkuat mekanisme pertahanan tradisional, seperti penjaga adat untuk mempertahankan wilayah mereka. Namun saat ini mereka menghadapi berbagai kekuatan bersenjata—termasuk polisi, militer, penjaga keamanan perusahaan dan tentara, serta kelompok kriminal yang sering dikaitkan dengan perdagangan narkoba. Sementara itu, kriminalisasi, bahkan pembunuhan, terhadap pemimpin adat di wilayah tersebut semakin meningkat. Data juga menunjukkan peningkatan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Pemerkosaan adalah cara untuk mempermalukan, mengendalikan perlawanan mereka dan menciptakan ketakutan kepada para perempuan (20).

Dengan fokus pada Amazon, buletin ini bertujuan untuk mendengarkan pendapat masyarakat Amazon mengenai proyek 'pembangunan' di wilayah mereka, tentang kekerasan dan penghinaan yang mereka hadapi dari perusahaan dan negara, dan tentang bagaimana mereka mengorganisir dan melawan proyek-proyek tersebut untuk mempertahankan dan/atau merebut kembali wilayah mereka.

Dan meskipun KTT Presiden Belem tahun 2023 yang dihadiri oleh para Presiden dari wilayah Amazon (yang juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah Indonesia dan Republik Demokratik Kongo) sekali lagi memperjelas bahwa mereka menginginkan lebih banyak 'pembangunan' yang sama, hal yang mungkin paling mendesak saat ini adalah kebutuhan untuk melakukan hal yang sama, yakni mendorong dialog antara masyarakat Amazon—yang memiliki banyak pengalaman dalam menentang 'ekstraktivisme hijau'—dan para aktivis dari negara-negara di Afrika Tengah dan Asia Tenggara. Meskipun terdapat banyak perbedaan, mereka semua menghadapi ancaman yang sama dan tantangan mengenai bagaimana mengorganisir dan melawan ancaman-ancaman tersebut.

Selama bertahun-tahun, masyarakat Amazon berkumpul untuk mencari kekuatan dan inspirasi dari kisah satu sama lain dan membangun aliansi, melintasi perbatasan yang memisahkan masing-masing negara. Salah satu contohnya adalah Forum Sosial Pan-Amazonian. Dalam deklarasi edisi terakhir tahun 2022, mereka mengatakan:

“Kami menegaskan kembali bahwa, meskipun bahaya telah meningkat, perjuangan dan perlawanan telah memperoleh kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, berdasarkan pengalaman spiritualitas masyarakat kami, yang harus terus tumbuh sebagai anak-anak Ibu Amazonia. Dalam hal ini, masyarakat Panamazonia sedang berorganisasi, bersatu, memperjuangkan wilayah dan budaya kami, untuk mewujudkan masa depan. Inilah kemajuan perjuangan terhadap anti-rasis, anti-patriarkal, dan anti-kolonial.” (21).

(1) Embrapa, Study shows that degradation has affected over a third of the Amazon rainforest, January 2023.
(2) Global Witness, Almost 2,000 land and environmental defenders killed between 2012 and 2022 for protecting the planet, September 2023.
(3) WRM Bulletin, Agribusiness Means Fire: Land Grabs, Deforestation and Fires in the Amazon, Cerrado and Pantanal biomes, December 2021 and Agro e Fogo, Weapons in the battle for territorial control: Capitalistic uses of fire against rural peoples
(4) WRM Bulletin, An (incomplete) List of Concepts that Kill Forests, January 2020 and WRM Bulletin, Are FSC and RSPO accomplices in crime? Jari Florestal and Agropalma's Unresolved Land Question in the Brazilian Amazon, November 2018
(5) WRM Bulletin, The green paradoxes of an Amazonian country, July 2021.
(6) Brasil de Fato, Colonialismo químico: por que o Brasil está morrendo pela boca e como o agro tem culpa nisso, October 2023.
(7) World Resources Institute, Undermining Rights, 2020.
(8) Mongabay, Swiss pledge to stop illegal gold imports from Brazil Indigenous reserves, June 2022
(9) WRM Bulletin, Water, Extractivism and Critical Minerals in Brazil: Some Reflections, September 2022    
(10) Observatorio petrolero, Lote 8: cifras de la contaminación petrolera, 2022.
(11) Brasil 247, Aos 70 anos, Petrobras mira transição energética e Margem Equatorial, October 2023
(12) Instituto Humanitas Unisinos, Como salvar a floresta amazônica? Entrevista com Philip M. Fearnside, August 2023.
(13) WRM Bulletin, “Without water there is no life:” The rivers of the Bolivian Amazon, September 2022.
(14) Mongabay, World Rainforests, “Amazon Destruction”, November 2021
(15) Statista, Countries with the largest area of primary tropical forest loss in 2022, June 2023 and Global Forest Watch, Tropical Primary Forest Loss Worsened in 2022, Despite International Commitments to End Deforestation, June 2023.  
(16) REDD Monitor, “The sale by the Government of Guyana of forest-based carbon credits was fraudulent”, July 2023.
(17) Instituto Humanitas Unisinos, A Amazônia se aproxima do ponto de ruptura, diz Carlos Nobre, January 2019- 
(18) Brasil de Fato, Alertas de desmatamento em 2023 caem pela metade na Amazônia, mas sobem no Cerrado, Janeiro 2024.
(19) Greenpeace, EU-Mercosur: A nightmare for nature, March 2023
(20) Mongabay, Triple riesgo: ser mujer, indígena y defensora ambiental en América Latina, November 2021.
(21) Final Declaration of the tenth Pan-Amazonian Social Forum – FOSPA