Persetujuan pembangunan jalan di dalam Konsesi Restorasi Ekosistem pertama di Indonesiaterbukti nyata bertolakbelakang dari prinsip yang melekat dari konsesi tersebut. Sebagainegara yang memiliki citra internasional tentang kepedulian terhadap deforestasi,pemerintah malah terlibat dalam memndorong terbitnya kebijakan yang mengarah padadeforestasi yang semakin parah.
Pemerintah Indonesia telah menyetujui sebuah proyek yang diusulkan oleh perusahaan kontraktor pertambangan, PT Marga Bara Jaya, untuk membangun jalan sepanjang 88 kilometer melalui hutan Konsesi Pemulihan Ekosistem (KRE) di Sumatera Selatan. Keputusan persetujuan terungkap pada Juni 2020 dimana pemerintah memberi perusahaan kendali atas 424 hektar Hutan Harapan. Jalan pengangkutan batu bara tersebut ditujukan untuk mengangkut batu bara dari tambang perusahaan ke pembangkit listrik di provinsi Sumatera Selatan. (1)
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Buletin WRM pada bulan Maret 2020, sebagian besar hutan milik negara Indonesia telah dikategorikan sebagai “hutan produksi” dengan Hak Pengusahaan Hutan, terutama untuk industri penebangan dan perkebunan.
Kategori Konsesi Restorasi Ekosistem (KRE) sendiri diluncurkan sebagai alat berorientasi pasar, dengan tujuan untuk membalikkan peningkatan deforestasi di dalam “hutan produksi” yang dianggap memiliki potensi konservasi tinggi. Peraturan untuk mengelola KRE menetapkan bahwa pemegang izin harus mendorong kegiatan restorasi untuk "membangun kembali keseimbangan biologis". Setelah keseimbangan itu tercapai, penebangan dapat diizinkan kembali.
Perusahaan pertama yang menerima KRE adalah Resotrasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) pada tahun 2007, untuk Proyek Hutan Hujan Harapan. Hutan ini juga merupakan rumah bagi komunitas adat semi-nomad, Batin Sembilan. PT REKI adalah pemegang lisensi, sementara British Royal Society for the Protection of Birds (RSPB), BirdLife International dan afiliasinya di Indonesia, Burung Indonesia, mendirikan yayasan nirlaba yang menjadi pemegang saham utama PT REKI.
Proyek ini mencakup hampir 80.000 hektar hutan dataran rendah di provinsi Sumatera Selatan dan Jambi. Sebelumnya area ini adalah konsesi penebangan yang dikelola negara yang telah ditebang secara intensif di masa lalu dan sekarang dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit yang dipenuhi dengan konflik lahan, pembalakan liar dan pembukaan hutan ilegal untuk perkebunan kelapa sawit. (2) Namun, proyek jalan lah yang menjadi ancaman terbesar dan paling merusak.
Terlepas dari deforestasi, fragmentasi hutan, dan gangguan keseluruhan yang disebabkan oleh pembangunan jalan, dan kemudian diperparah truk batu bara berat dan pekerja yang terus-menerus melintas. Jalan tersebut pasti akan memberikan akses yang lebih besar dan leluasa ke lebih banyak pemburu liar, pembalak liar dan perambah di daerah tersebut yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan konflik manusia dengan satwa liar.
Persetujuan pembangunan jalan di dalam Konsesi Restorasi Ekosistem pertama di Indonesia merupakan contoh simbol dari kontradiksi. Pemerintah Indonesia dengan citra internasional yang peduli dengan penanggulangan deforestasi, pada saat yang sama, secara aktif terlibat dalam mendorong rencana dan kebijakan yang mengarah pada lebih banyak deforestasi. Ini juga menjadi alasan utama mengapa pada Agustus 2020, organisasi dari Indonesia dan luar negeri mengirim surat terbuka kepada Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund) yang menuntut organisasi ini untuk menolak permintaan pemerintah Indonesia untuk pendanaan REDD + karena diduga telah mengurangi data emisi dari deforestasi di masa lalu. Bahwa IMF memberikan penghargaan kepada pemerintah yang terus terlibat dalam dan mempromosikan deforestasi skala besar tentunya tidak dapat diterima (3)
Untuk lebih memahami konteks dan konflik, WRM mewawancarai seorang penggiat atau aktivis yang berkomitmen pada keadilan sosial dan lingkungan di Indonesia yang mengikuti dengan cermat situasi di area konsesi dan proyek jalan. Namanya sengaja dirahasiakan demi alasan keamanan.
WRM: LSM konservasi mengklaim bahwa mereka sedang merestorasi Hutan Hujan Harapan, pernahkah Anda melihat ini terjadi? Jika tidak, apa masalah utamanya?
Aktivis: Saat ini kondisi Hutan Hujan Harapan sangat kritis akibat eksploitasi hutan akibat adanya Hak Pengusahaan Hutan yang kini telah bertransformasi menjadi Proyek Konsesi Restorasi Ekosistem Hutan Harapan.
Pada tahap pelaksanaan proyek ini, tidak semua Masyarakat Adat Batin Sembilan yang berada di kawasan ini diundang untuk berpartisipasi, salah satunya yang diabaikan adalah Masyarakat Pangkalan Ranjau.
Menurut saya, restorasi terhadap area yang dulunya kawasan ekstraktif melalui Konsesi Restorasi Ekosistem, seperti Proyek Hutan Harapan, harus dilakukan dengan memastikan keterlibatan dan pembinaan yang kuat dari Masyarakat Adat di semua tahapan: implementasi, restorasi, pelestarian, pengelolaan, dll. , karena merekalah yang paling mengetahui kawasan tersebut dan yang telah menjaga hutan dari generasi ke generasi.
WRM: Mengapa Anda menentang pembangunan jalan?
Aktivis: Saya menentang segala bentuk eksploitasi kawasan alam, termasuk eksploitasi yang ditimbulkan oleh proyek pertambangan batubara dan pembangunan infrastruktur pendukungnya.
Jalan angkut batubara hanyalah manifestasi dari masalah eksploitasi yang lebih besar, yaitu tambang batubara itu sendiri. Karena itu, saya dengan tegas menolak kehadirannya.
Menurut saya, kawasan tersebut dalam kondisi yang sangat kritis yang dipengaruhi oleh semua perusahaan penebangan besar dikarenakan izin ekstraktif terdahulu.
WRM: Jalan yang dibangun di daerah yang harus dipulihkan dan dikonservasi tidak masuk akal. Siapa yang mendapat manfaat dari dan mendukung proposal semacam itu?
Aktivis: Satu-satunya penerima manfaat dari pembangunan jalan ini hanyalah perusahaan tambang batu bara itu sendiri.
WRM: Bagaimana cara terbaik memulihkan dan melestarikan hutan Harapan, dengan mempertimbangkan kepentingan industri pertambangan, kelapa sawit dan penebangan?
Aktivis: Restorasi Hutan Harapan harus memastikan keterlibatan dan pembinaan Masyarakat Adat di kawasan tersebut dalam semua aspek dan tahapan. Merekalah yang mampu mencegah eksploitasi hutan hujan dan menjaga lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan kerja kolaboratif.
WRM: Setelah proyek jalan disetujui, apa rencana Anda? dan tindakan solidaritas nasional dan internasional seperti apa yang menurut Anda diperlukan?
Aktivis: Kami mendukung Masyarakat Adat dalam melestarikan dan melindungi wilayah adat mereka; Kami tetap keberatan dan memprotes pemerintah dan pihak terkait atas pembangunan jalan ini k baik di tingkat nasional maupun internasional; dan kami melakukan upaya litigasi dan non-litigasi untuk menolak ekspansi pertambangan batubara di negara ini.
Paparan internasional atas proyek jalan ini dan proyek merusak lainnya di Indonesia sangat penting dan diperlukan untuk menciptakan tekanan terhadap pemerintah dan perusahaan yang berencana menghancurkan kawasan hutan yang luas yang menjadi tempat bergantung masyarakat yang bergantung pada hutan.
(3) The Green Climate Fund (GCF) harus berkata TIDAK untuk permintaan dana REDD+, August 2020