Ekspansi Gila-Gilaan Industri Kelapa Sawit dan Perjuangan Perlawanan Kampung Bariat di Tanah Papua

Gambar
B271

Pada suatu malam di bulan Oktober 2023, puluhan perempuan dari Kampung Bariat, sebuah desa di distrik Kondo, Kabupaten Sorong, provinsi Papua Barat, berkumpul di tengah-tengah komunitas mereka. Mereka berkumpul untuk melakukan latihan yang melibatkan berbagi dan membuat katalog tentang cara mereka memanfaatkan dan berhubungan dengan hutan; latihan ini penting sebagai tanggungjawab pemeliharaan hutan yang memberi makan dan memastikan kesehatan dan kesejahteraan keluarga dan komunitas mereka. Dengan hanya diterangi beberapa bola lampu, mereka menulis dan berbagi pengetahuan tradisional tentang tempat-tempat penting di sekitar komunitas mereka—misalnya, tempat-tempat di mana menemukan sagu, makanan pokok masyarakat; tempat-tempat untuk menanam tanaman tertentu; tempat-tempat untuk mengumpulkan tanaman obat, akar dan daun tertentu; tempat-tempat suci; dan seterusnya. Kegiatan ini adalah latihan yang menyenangkan, yang mempererat dan memperkuat hubungan para perempuan dengan wilayah mereka.

Namun latar belakang dari pelaksanaan latihan ini sama sekali tidak menyenangkan. Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia di Jakarta memutuskan untuk memberikan konsesi seluas 37.000 hektar di Sorong Selatan kepada PT Anugerah Sakti Internusa, anak perusahaan dari Indonusa Agromulia Group (1). Otoritas di Papua kemudian mengeluarkan izin untuk memungkinkan perusahaan menebang 14.467 hektar di dalam wilayah konsesi ini—yang pada saat itu merupakan 96% hutan utuh—dan menanam jutaan pohon kelapa sawit (2). Masa depan desa Kampung Bariat terancam karena konsesi tersebut tumpang tindih dengan wilayahnya. Masyarakat tidak diberi tahu, apalagi diminta pendapat atau persetujuannya atas konsesi tersebut.

Pada malam di bulan Oktober itu, para perempuan Kampung Bariat juga membicarakan tentang perusahaan tersebut. Didorong oleh kemarahan dengan situasi tersebut, mereka berkata, “Kami harus menjauhkan kelapa sawit dari tanah kami!” dan “Kami mampu menjaga wilayah kami!” Sekitar 300 perempuan dan laki-laki Kampung Bariat menjaga wilayah mereka secara turun-temurun, sejak sepuluh marga keluarga berkumpul dan menetap di daerah ini. Mereka menyebut diri mereka sebagai Tehit, kelompok masyarakat adat yang termasuk dalam Suku Afsya.

Ekspansi kelapa sawit industri di Papua dan Indonesia

Menurut data resmi, terdapat sekitar 16 juta hektar perkebunan kelapa sawit industri di Indonesia—sekitar setengah dari total jumlah kelapa sawit global. Namun, Sawit Watch, sebuah LSM Indonesia yang memantau sektor kelapa sawit, memperkirakan total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mendekati 25 juta hektar (3), dan memprediksi jutaan hektar tambahan di masa mendatang. Pada tahun 2023, perkebunan kelapa sawit industri bertambah seluas 116.000 hektar di Indonesia, meningkat 54% dibandingkan dengan tahun 2022 (4).

Bersama dengan pulau Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Jawa, Papua ditargetkan menjadi wilayah baru untuk ekspansi kelapa sawit besar-besaran di Indonesia dan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan wilayahnya yang luas dan persyaratan yang ditawarkan pemerintah Indonesia kepada perusahaan dan investor di negara ini. Persyaratan ini menjadi lebih fleksibel dan semakin menguntungkan, setelah difasilitasi oleh Undang-Undang omnibus law (5). Papua menjadi target banyak proyek pertambangan besar, perkebunan tebu, proyek pertanian berskala besar yang disebut ‘food estate’, dan proyek pembangkit listrik tenaga air Mamberano yang sudah berlangsung lama—yang semuanya akan menimbulkan dampak yang menghancurkan. Bukanlah suatu kebetulan bahwa Papua, dengan ‘sumber daya alam’-nya yang melimpah, merupakan wilayah terakhir yang coba dikuasai oleh penjajah Belanda, namun harus menyerah karena tekanan internasional (6).

Pembenaran hukum yang digunakan pemerintah pusat di Jakarta untuk menyerahkan lahan hutan kepada perusahaan kelapa sawit dan perusahaan ekstraktif lainnya di Papua didasarkan pada Keputusan Kementerian Pertanian yang dibuat selama rezim Suharto (No. 820/1982). Keputusan tersebut menyatakan bahwa sekitar 41 juta hektar wilayah hutan di Papua adalah ‘hutan negara’. Keputusan ini merampas kekuasaan Masyarakat Adat untuk mengelola dan membuat keputusan tentang wilayah yang secara turun temurun menjadi sumber kehidupan mereka.

Ekspansi  gila-gilaan

Kolonial Belanda di masa lalu maupun pemerintah Indonesia setelahnya mengklaim sebagai “pemilik” Papua, dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat di sana. Mereka bertindak Papua seolah-olah tanah kosong dan tidak terpakai yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan dan kepentingan kapitalis. Namun, investigasi yang dilakukan Pusaka mengungkap keberadaan 10.472 desa di Papua, yang sebagian besar dihuni oleh Masyarakat Adat; laporan tersebut menambahkan bahwa semua komunitas ini sangat bergantung pada wilayah yang lebih luas yang mereka kelola, sesuai dengan praktik, adat istiadat, dan kepercayaan mereka, dll. (7). Area konsesi terbesar untuk pengembangan kelapa sawit adalah area yang disebut proyek Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Tujuh perusahaan menguasai area yang memiliki total luas 280.000 hektar. Proyek ini telah melanggar wilayah tempat tinggal dan tempat bergantung Suku Awyu (8).

Sebanyak 29 juta hektar perkebunan kelapa sawit industri di seluruh dunia juga bukanlah tanah “kosong” ketika diduduki untuk aktivitas ini—justru sebaliknya (9). Ada banyak sekali pengalaman yang terdokumentasi dengan menyeluruh dari masyarakat yang tanahnya diambil alih oleh perusahaan kelapa sawit. Pengalaman mereka—kisah-kisah kekerasan yang mereka alami, pelecehan yang dialami perempuan, kerusakan dan pencemaran tanah dan air—sangat mirip satu sama lain. Inilah sebabnya mengapa putaran baru perluasan kelapa sawit skala besar yang menargetkan Papua adalah gagasan yang sangat gila.

Beberapa aspek umum dari kisah-kisah dan pengalaman dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Kolombia, Nigeria, Guatemala, Papua Nugini, Pantai Gading, Honduras, Brasil, Ekuador, Kamerun, dan banyak negara lainnya meliputi beberapa hal berikut ini:

- Wilayah masyarakat adat dan kulit hitam paling banyak menjadi sasaran, dengan melanggar hak teritorial dan sumber kehidupan mereka. Di tanah Papua, misalnya, perluasan kelapa sawit , dalam setiap kasus, telah menyebabkan konflik dengan masyarakat adat. Pada tahun 2018, 272.000 hektare kawasan hutan di Papua telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit industri, yang meninggalkan tidak hanya hutan yang hancur, tetapi juga hilangnya sumber kehidupan (10).

- Kelapa sawit industri tidak hanya merampas tanah tetapi juga air. Perkebunan kelapa sawit industri di Kalimantan Barat  telah merampas tanah dan air dalam jumlah besar, melebihi wilayah lain di bumi. Sebuah investigasi di sana mengungkapkan perampasan air besar-besaran, kontaminasi, dan kerusakan di seluruh rantai produksi minyak sawit—yang berdampak tidak hanya seluruh wilayah, tapi juga populasinya. Tanpa air, maka tidak ada yang bisa bertahan hidup (11).

- Minyak sawit telah menjadi minyak nabati termurah di dunia, karena eksploitasi tenaga kerja yang tiada henti terhadap orang-orang yang sebelumnya bergantung pada hutan, pertanian, dan perikanan. Keuntungan perusahaan kelapa sawit diperoleh dengan eksploitasi dan kontrol terhadap tubuh perempuan. Ketika kelapa sawit industri menyerbu wilayah masyarakat, kehidupan perempuan menjadi sangat sulit. Ketika sungai dihancurkan, misalnya, situasi ini memiliki implikasi yang dalam bagi perempuan. Akibat adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin—di mana perempuan adalah pihak yang menopang kehidupan—dampak destruktif dari kelapa sawit memperdalam penindasan terhadap perempuan. Perusahaan juga mengeksploitasi buruh perempuan di perkebunan. Prostitusi dan kekerasan seksual terhadap pekerja perempuan pun merajalela (12).

- Bahkan ketika ada bukti pencemaran air atau pelanggaran hukum lainnya, perusahaan kelapa sawit menikmati pembebasan dari hukuman. Sementara itu, aktivis masyarakat menghadapi intimidasi, ancaman pembunuhan, kriminalisasi, tuduhan terorisme, dan pemenjaraan ketika mereka mengatakan TIDAK kepada perkebunan kelapa sawit industri dan membela hak asasi manusia yang hidup di atas wilayah mereka.

- Sertifikat 'kontrol kualitas', seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) selama 20 tahun, telah menjadi alat greenwashing bagi industri kelapa sawit. Sertifikat ini tidak mengubah pola struktural ketidakadilan, kekerasan, dan penghancuran; dan mekanisme pengaduan internal mereka serta tidak mengubah perilaku perusahaan dalam praktik. Sertifikat ini memastikan keuntungan bagi produsen, investor, pedagang, dan perusahaan manufaktur kelapa sawit (13). Sertifikat ini turut bertanggung jawab atas berbagai penindasan yang disebabkan oleh industri ekstraktif di dunia selatan.

Saat ini, ‘biofuel’ atau ‘agrofuel’ dari minyak kelapa sawit dijual kepada publik dengan topeng ‘energi terbarukan’ dan bagian dari apa yang disebut ‘transisi energi.’ Ini adalah kebohongan terbaru yang disebarkan oleh industri kelapa sawit untuk membenarkan ekspansi besar-besarannya. Sejak tahun 2013, penelitian oleh GRAIN mengungkapkan bahwa sistem pangan yang saat ini digerakkan oleh agribisnis, di mana sektor kelapa sawit sebagai pemain kunci, bertanggung jawab atas sekitar setengah dari emisi gas rumah kaca global (14).

Perlawanan Kampung Bariat dan masyarakat lainnya

Kembali ke Kampung Bariat, pada suatu malam di bulan Oktober 2023, masyarakat berkumpul untuk menonton video dari kunjungan yang dilakukan beberapa anggota masyarakat ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta, sekitar 3.000 km jauhnya. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan penduduk desa menyampaikan kekhawatiran mereka kepada berbagai pihak berwenang di Jakarta. Yuliana Kedemes, salah satu peserta kunjungan tersebut, merangkum pesan mereka dalam sebuah wawancara: “Kami tidak bisa mengizinkan mereka [perusahaan kelapa sawit] datang ke sini, karena di mana anak cucu kami akan tinggal di masa depan?” (15)

Keesokan harinya, masyarakat menerima pejabat Kabupaten Sorong Selatan dan Distrik Kondo. Para pejabat ini disambut dalam bahasa Tehit oleh perwakilan dari sepuluh marga, yang berbagi cerita tentang bagaimana Kampung Bariat didirikan. Masyarakat memberikan kepada pihak berwenang sebuah berkas berisi dokumentasi dan peta yang menunjukkan hubungan mendalam antara masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki, dengan wilayah mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka membutuhkan minimal 3.200 hektar lahan untuk memastikan kelangsungan hidup masyarakat mereka. Pihak berwenang menyatakan akan mendukung tuntutan masyarakat Kampung Bariat. Perjuangan masyarakat Kampung Bariat dan banyak masyarakat adat lainnya di Papua melawan ancaman kelapa sawit yang terus berlanjut akhirnya mendapat dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya ketika, pada bulan April 2021, empat perusahaan kelapa sawit dicabut izinnya oleh Bupati Sorong. Pencabutan ini berdasarkan audit yang telah dimulai pada tahun 2018, yang mengidentifikasi pelanggaran hukum dan 5administratif oleh perusahaan tersebut. Izin 12 perusahaan kelapa sawit lainnya dicabut pada bulan Juni 2021 di Sorong Selatan, termasuk izin PT Anugerah Sakti Internusa, perusahaan yang konsesinya 5tumpang tindih dengan wilayah Kampung Bariat (16). Namun, PT Anugerah Sakti Internusa mengajukan gugatan ke pengadilan pada bulan Desember 2021 untuk melawan keputusan tersebut, dalam upaya untuk mendapatkan kembali izinnya.

Semakin banyak masyarakat adat di Papua yang terlibat dalam kasus-kasus di pengadilan. Dalam kasus wilayah pengembangan kelapa sawit terbesar di Papua—proyek Tanah Merah—Masyarakat Awyu memperjuangkan hak-hak mereka di pengadilan, bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Pada bulan Mei 2024, masyarakat adat Awyu dan Moi melakukan perjalanan ke Jakarta, di mana mereka mengadakan doa dan ritual serta menampilkan tarian untuk meminta Mahkamah Agung melindungi tanah mereka dari kerusakan (17).

Sebagian dari apa yang ditunjukkan oleh Masyarakat Adat di Papua kepada pemerintah pusat adalah penelantaran konsesi secara luas oleh perusahaan-perusahaan di Papua. Sebuah investigasi oleh Pusaka menunjukkan bahwa dari tahun 1988 hingga 2011 (ketika moratorium Presiden dikeluarkan untuk pembukaan hutan), hanya 125.284 hektar dari 1.162.893 hektar yang diberikan kepada 51 perusahaan kelapa sawit (10,7% dari wilayah tersebut) yang benar-benar telah dikonversi menjadi kelapa sawit. Sementara itu, sejumlah perusahaan ini telah berhenti beroperasi. Jika konsesi penebangan dan perkebunan kayu juga dimasukkan, jumlah lahan terlantar, dengan mempertimbangkan konsesi yang diberikan selama kurun waktu 1988-2011, adalah sebanyak 1.925.306 hektare. Masyarakat Adat menuntut agar pemerintah mengembalikan tanah-tanah terlantar tersebut kepada mereka, karena merupakan wilayah adat mereka, dan agar pemerintah mengakui hak teritorial mereka (18).

Ekstraktivisme 'Hijau'

Pemerintah Indonesia mengabaikan tuntutan masyarakat adat dan justru mendorong jenis ekstraktivisme lain berkembang di Indonesia—yaitu ekstraktivisme 'hijau' dari proyek dan program karbon hutan yang seringkali merampas tanah dan hanya menguntungkan perusahaan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejak Perjanjian Iklim Paris, permintaan kredit karbon didorong oleh kegilaan industri-industri besar yang mencemari lingkungan agar menjadi 'netral karbon'. Kenyataannya, dengan membeli 'kredit' tersebut, industri-industri yang mencemari lingkungan ini dapat terus menjalankan kegiatan mereka dan bahkan meningkatkan pembakaran bahan bakar fosil—yang merupakan penyebab utama kekacauan iklim. Itulah sebabnya 'kredit karbon' harus disebut 'kredit polusi'.

Pasar karbon ini adalah kepentingan pemerintah Indonesia: pemerintah telah menerima puluhan juta dolar AS dari Bank Dunia, Dana Iklim Hijau, dan pemerintah negara-negara industri seperti Norwegia, Jerman, Jepang, dan Inggris untuk menjadi negara 'siap REDD'. Ini berarti Indonesia menyiapkan 'infrastruktur' yang diperlukan—seperti legislasi dan metode yang mendukung pengukuran dan verifikasi jumlah karbon di hutan Indonesia—yang dibandingkan dengan jumlah dasar yang ditetapkan oleh pemerintah dan donor sendiri (19).

Selain menjadi peluang baru bagi 'industri konservasi'—misalnya organisasi seperti The Nature Conservancy (TNC), Conservation International (CI), dan World Wildlife Fund (WWF)—untuk meningkatkan 'kawasan lindung,' bisnis karbon di Papua juga menjadi peluang baru bagi industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan penebangan. Namun, bisnis baru mereka justru memperburuk kekacauan iklim dan mempersulit perjuangan Masyarakat Adat untuk mendapatkan hak teritorial mereka.

 


Kotak: Pasar karbon dan perdagangan karbon: Peluang baru bagi industri ekstraktif, ancaman baru bagi Masyarakat Adat di Papua.

Perusahaan kelapa sawit dan perusahaan lain di Papua kini dapat memanfaatkan sumber pendapatan baru. Alih-alih menghancurkan hutan untuk penebangan atau kelapa sawit, mereka dapat membiarkan hutan 'berdiri' dan tetap menghasilkan uang, dengan menjual produk baru yang disebut 'kredit karbon'—berdasarkan janji bahwa mereka akan menjaga hutan tetap utuh alih-alih menebangnya. Pemerintah Indonesia mengizinkan perusahaan dalam kategori konsesi PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaataan Hutan) untuk menggunakan area konsesi untuk lebih dari satu kegiatan komersial, yang dapat mencakup kredit karbon. Misalnya, Grup ALS (grup Alamindo), pemilik tiga perusahaan dan industri kayu di Papua, bermaksud mendirikan bisnis karbon melalui PT Rimbakayu Arthamas, bekerja sama dengan sembilan perusahaan lain, dengan memanfaatkan jenis izin ini (20).

Di Brasil, perusahaan kelapa sawit memasuki pasar karbon dengan cara yang sama, sambil terus merugikan masyarakat adat. Perusahaan Agropalma di negara bagian Pará di wilayah Amazon menggunakan lahan hutan (bukan untuk budidaya kelapa sawit) untuk menjual ‘kredit karbon.’ ‘Hutan karbon’ ini ‘dilindungi’ oleh aparat bersenjata lengkap yang menganiaya masyarakat adat Turiwara dan masyarakat keturunan Afrika, yang disebut quilombolas. Masyarakat ini selalu mencoba memasuki hutan, karena itu adalah wilayah leluhur mereka, tempat kuburan leluhur dan tempat memancing serta berburu (21). Dengan adanya proyek karbon hutan baru-baru ini, perjuangan mereka yang sudah berlangsung lama untuk merebut kembali tanah-tanah ini menjadi semakin sulit.



Secara global, 17 tahun pengalaman dengan karbon hutan dan proyek-proyek lain yang disebut sebagai REDD telah menunjukkan bahwa perjuangan masyarakat adat untuk hak-hak teritorial mereka melemah di mana pun bisnis karbon berkembang,. Padahal, para promotor dan pendukung proyek karbon mengklaim dan berjanji bahwa proyek-proyek tersebut akan memajukan dan meningkatkan hak-hak teritorial masyarakat adat.” (22). Yang lebih parah lagi, proyek-proyek karbon tidak banyak membantu untuk membalikkan deforestasi, namun justru memperburuk kekacauan iklim—yang berdampak negatif pada hutan tropis, dan Masyarakat Adat yang tinggal di dalamnya. Menurut penelitian, hutan Amazon sedang dalam proses 'mengering' dengan cepat. Hutan Amazon bisa menjadi sabana besar dalam waktu dekat jika pemerintah, khususnya negara-negara industri, tidak segera memutuskan untuk melindungi tempat penyimpanan bahan bakar fosil di bawah tanah dari ekstraksi (23).

Penutup

Pemerintah Indonesia tidak boleh mengabaikan keberadaan Masyarakat Adat di tanah Papua, yang perwakilannya secara rutin mendatangi kantor pemerintah di Ibu Kota Jakarta. Menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan swasta dan membiarkan perusahaan tersebut merusaknya, atau melakukan ekstraktivisme 'hijau', jelas-jelas melanggar Pasal 33 Konstitusi Indonesia—yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus “dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat Indonesia.” Dalam wawancara baru-baru ini dengan Al Jazeera, presiden terpilih Indonesia, Prabowo, bahkan menegaskan bahwa “kepentingan, keamanan, dan masa depan semua masyarakat adat adalah prioritas tertinggi menurut saya. Kita harus melindungi mereka, kita harus mengamankan sumber kehidupan mereka” (24).

Namun, mengamankan sumber kehidupan mereka berarti memastikan mereka dapat dengan bebas menjalankan serta memiliki kendali atas wilayah mereka. Tuntutan ini secara sistematis diabaikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, memperkuat perjuangan perlawanan adalah kuncinya. Hal ini dapat terjadi melalui proses pembelajaran horizontal yang menghubungkan komunitas di seluruh dunia, sehingga mereka dapat berbagi pengalaman perlawanan yang beragam terhadap perkebunan tersebut. Salah satu contohnya adalah aliansi informal melawan perluasan kelapa sawit industri di Afrika Barat dan Tengah, yang sejak 2016 telah menghubungkan komunitas yang berjuang untuk merebut kembali tanah mereka dari perusahaan kelapa sawit di beberapa negara Afrika (25). Menghubungkan perjuangan melawan kelapa sawit dan ancaman ekstraktif lainnya mungkin menjadi elemen kunci dalam memperkuat perjuangan masyarakat di Papua yang sedang berlangsung untuk mempertahankan wilayah mereka.

Sekretariat Internasional WRM

Sumber:
(1) https://awasmifee.potager.org/uploads/2015/04/atlas-sawit-en.pdf
(2) https://news.mongabay.com/2022/01/spurred-by-investor-friendly-law-palm-oil-firms-sue-to-get-licenses-back/   
(3) Sawitwatch. Catatan&Proyeksi perkebunan sawit Indonesia tahun 2023, 2023
(4) https://nusantara-atlas.org/2023-marks-a-surge-in-palm-oil-expansion-in-indonesia/
(5) https://www.wrm.org.uy/bulletin-articles/indonesia-legalizing-crimes-under-the-slogan-of-creating-jobs
(6) After the Indonesian government took over, the first foreign investment approved for the land of Papua in 1967 opened the door for Freeport Sulpur Inc. to extract ore from what is considered one of the world's biggest gold reserves, with devastating impacts on the communities that continue to this day.
(7) Brief Paper: Karena ada Hutan Tong Hidup, Jakarta, 2023
(8) https://pusaka.or.id/en/the-awyu-tribe-fights-the-tanah-merah-project-companies-up-to-the-supreme-court/
(9) https://grain.org/en/article/7123-oil-palm-in-latin-america-monoculture-and-violence
(10) https://www.cifor-icraf.org/publications/pdf_files/factsheet/7444-factsheet.pdf
(11) Toxic river. The fight to reclaim water from oil palm plantations in Indonesia, December 2020, Kruha et al,
(12) https://www.wrm.org.uy/publications/breaking-the-silence-harassment-sexual-violence-and-abuse-against-women-in-and-around-industrial-oil-palm-and-rubber-plantations and https://www.aljazeera.com/news/2020/11/18/rape-abuses-in-palm-oil-fields-linked-to-top-cosmetic-brands-ap
(13) See for example: https://chainreactionresearch.com/report/latin-american-palm-oil-linked-to-social-risks-local-deforestation/ or https://news.mongabay.com/2015/03/whos-funding-palm-oil/
(14) https://grain.org/en/article/5272-how-much-of-world-s-greenhouse-gas-emissions-come-from-agriculture
(15) https://news.mongabay.com/2022/01/spurred-by-investor-friendly-law-palm-oil-firms-sue-to-get-licenses-back/   
(16) Ibid
(17) https://pusaka.or.id/en/land-back-supreme-court-ceremonial-venue-for-papuan-indigenous-peoples-fighting-palm-oil-companies/ So far, only seven communities have ensured control over their land through the use of a legal category that was created through changes in the Forestry Law of 2012. They are called 'customary forests,’ and total 39.841 hectares. It is an important step, though insignificant at the same time, when compared with the areas released to companies--comapnies that are heavily impacting livelihoods and threatening the future of IPs.
(18) Brief Paper: Karena ada Hutan Tong Hidup, Jakarta, 2023
(19) Indonesia REDD+ National Strategy 2021-2030; Ministry of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia November 2022
(20) https://pusaka.or.id/en/tag/papuanforests/
(21) https://www.wrm.org.uy/bulletin-articles/redd-and-the-green-economy-exacerbate-oppression-and-deforestation-in-para-brazil
(22) https://www.wrm.org.uy/publications/15-years-of-redd
(23) https://www.the-scientist.com/amazon-rainforest-nearing-savannah-tipping-point-69782
(24) https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=51Rctpb_EJg
(25) See the declaration from the last meeting of this Alliance in 2022 in this link