Perjuangan atas tanah di kawasan Amazon Brazil melawan korporasi sawit dan pertambangan

Gambar
B269_para
Agropalma menggali parit yang dalam untuk mencegah masyarakat memasuki kuburan tradisional, tempat berburu dan daerah penangkapan ikan. Foto: Elielson Pereira da Silva

Pará adalah negara bagian terbesar kedua di wilayah Amazon Brasil yang berbatasan dengan laut. Secara turun temurun, masyarakat Tembé dan Turiwara menduduki Lembah Acará di timur laut negara bagian ini, sebuah wilayah yang terletak di kotamadya Tailândia, Acará, dan Tomé-Açu. Diawali dengan proses penjajahan, wilayah mereka yang kaya akan hutan, sungai dan tanah subur, secara bertahap dijarah, kayu-kayu diambil dan perkebunan monokultur tebu dan tembakau dieksploitasi untuk memperkaya kota metropolitan – Portugal. Suku Tembé dan Turiwara mengalami berbagai macam kekerasan, tidak hanya berkonotasi kolonial, namun juga patriarki dan rasisme, seperti yang terjadi pada proses aldeamento , yang bertujuan untuk mengusir mereka dari wilayah mereka agar dapat diambil alih. (1) Kekerasan dan penindasan terhadap tindakan perlawanan mereka, serta epidemi, benar-benar mengakibatkan genosida, yang secara drastis mengurangi populasi suku ini.

Selain itu, perbudakan membawa orang-orang dari benua Afrika untuk dijadikan pekerja paksa di wilayah tersebut. “Kami membangun pabrik [tebu] dengan tangan,” kata seorang keturunan dari populasi ini, seorang pemimpin quilombola. “Ketika perbudakan dihapuskan , kami dibuang ke sini, tanpa ganti rugi (reparasi) atau dukungan. Satu-satunya 'bukti keterangan' yang kami miliki saat itu adalah pabrik tebu yang seluruhnya dibangun oleh masyarakat kami,” tambahnya (demi alasan keamanan, nama orang yang memberikan kesaksiannya untuk artikel ini tidak diungkap).

Di tepi Sungai Acará, bahkan setelah perbudakan secara resmi berakhir pada tahun 1888, hingga pertengahan tahun 1970-an, keluarga-keluarga Portugis – pemegang kekuasaan, prestise, dan kekayaan – mengumpulkan lahan yang sangat luas di bawah dominasi yang ketat. Mereka memiliki rumah dagang yang terletak di titik-titik strategis di sepanjang sungai, mempertahankan penduduk asli (Turiwara dan Tembé), quilombola dan penduduk sungai sebagai agregados , melalui dominasi dan kontrol represif terhadap buruh, dalam sistem aviamento (2) dan perampasan wilayah. (3) Sebagian besar lahan yang dirampas oleh keluarga-keluarga asal Portugis ini kemudian dijual kepada pemilik perkebunan dan perusahaan agrobisnis besar di bidang sawit, kelapa, dan kayu.

Dimulai pada tahun 1952 dengan berdirinya Projeto JAMIC Imigração e Colonização Ltda di kotamadya Acará, saat ini Tomé-Açu, tanah yang secara turun termurun dikuasai oleh masyarakat adat Turiwara dan Tembé di dekat Sungai Acará-Mirim menjadi sasaran intrusi oleh proyek resmi kolonisasi Jepang yang didanai oleh sumber daya publik dan swasta.

Tekanan terhadap wilayah adat semakin meningkat dengan didirikannya proyek pengambilan kayu dan peternakan yang dibiayai oleh insentif pajak yang diberikan oleh SUDAM (Kantor Pengawas Pembangunan Amazon). Insentif tersebut diterapkan sebagai bagian dari Operação Amazônia, yang diluncurkan pada tahun 1966, yang berupaya menggiatkan pendirian perusahaan pedesaan dan “pusat pembangunan” di berbagai wilayah Amazon. Dalam konteks ini, kotamadya Tomé-Açu ditetapkan sebagai salah satu “pusat penebangan kayu” utama di negara bagian Pará.

Mengenai proses sejarah invasi tanah mereka, seorang pemimpin Turiwara mengatakan kepada kami: “Kami adalah pelopor, pewaris tempat yang ditinggalkan nenek moyang kami. Saat itu kami diusir oleh pemilik perkebunan, yang datang dan meminta kami pergi. (...) Mereka akan berkata 'dengar, kamu punya waktu dua, tiga hari untuk mengosongkan tanah ini, jika kamu tidak pergi, kami akan membawa lebih banyak orang ke sini agar kamu bisa pergi', karena ketakutan [dengan ancaman ini] banyak sekali orang yang terusir dari tempat itu.”

Invasi wilayah adat, quilombola dan petani oleh perusahaan kelapa sawit dan pertambangan

Jika di masa lalu penjajah menginvasi tanah mereka dengan perkebunan tebu dan tembakau, saat ini monokultur sawit dan jaringan pipa bijih logam telah mengambil alih wilayah Tembé, Turiwara, quilombola, dan petani di Lembah Acará.

Produksi industri minyak sawit didominasi oleh dua perusahaan: Brasil Bio Fuels (BBF), yang membeli Biovale pada tahun 2019, dan menguasai sekitar 135.000 hektar lahan di wilayah tersebut; dan Agropalma, yang aktif di wilayah tersebut sejak tahun 1982, menguasai 107.000 juta hektar. (4) Pelanggan internasional mereka meliputi Cargill, Hershey, General Mills, Kellogg's, Mondelez, Nestlé, PepsiCo, Stratas Foods dan Unilever (5). Pada tahun 2022, Agropalma memiliki pendapatan senilai US$ 486 juta; BBF menerima sebanyak US$ 305 juta. (6)

Meskipun BFF memproyeksikan diri mereka sebagai perusahaan 'modern' dan 'hijau' yang memproduksi 'energi terbarukan' seperti biodiesel, sebagian besar lahan mereka adalah lahan publik dengan sertifikat palsu. (7) Seorang pemimpin quilombola menggambarkan kedatangan salah satu perusahaan: “Saat BBF datang, saat itu masih Biopalma. Perusahaan datang dengan tenang, namun menggunakan perampas tanah yang mengambil tanah dari quilombola dan petani. Perusahaan tidak menunjukkan diri mereka yang sebenarnya. Merekalah yang merusak hutan; misalnya saya ingat ketika mereka menebang 600 hektar [dengan konsentrasi] pohon kacang Brazil. Para perampas tanah inilah yang menyerahkan tanah tersebut kepada Biopalma, sehingga menyamarkan rantai kepemilikan tanah tersebut.”

Saat ini, minyak sawit merupakan minyak nabati termurah di dunia, berdasarkan logika produksi kolonial, mereka bisa 'mendapatkannya tanpa membayar'. Misalnya, perusahaan tidak bertanggung jawab atas dampak deforestasi yang mereka timbulkan. Mereka tidak membayar air yang mereka gunakan di perkebunan – dengan tingkat konsumsi yang diperkirakan mencapai 34.000 liter per hektar per hari (8) – atau di pabrik mereka. Mereka juga tidak membayar atas kontaminasi yang disebabkan oleh pupuk sintetis dan terutama oleh bahan kimia pertanian yang digunakan, seperti glifosat, jenis herbisida yang terbukti bersifat karsinogenik dan ditemukan di air permukaan dan air tanah di tanah adat. (9) Lebih jauh lagi, masyarakat adat dan masyarakat quilombola telah mengecam perusahaan tersebut karena menyebarkan produk sampingan dari proses produksi minyak sawit di perkebunan mereka sebagai 'pupuk organik', yang telah mematikan kehidupan di aliran sungai setempat.

Hasilnya adalah kehancuran. Menurut seorang pemimpin quilombola: “Perusahaan telah mencemari udara, air dan juga mencemari kehidupan kami. Karena setelah dendê mulai tumbuh, mereka menggunakan bahan kimia pertanian yang mencemari air, dan juga produk sampingan produksi minyak sawit. Sekarang masyarakat tidak hanya kehilangan tanah, air, dan mata air,  tapi juga mempunyai masalah kesehatan, sekitar 15% masyarakat kami sakit karena sawit. Kalau anda pergi memancing pada jam 6 pagi, kemudian pada jam 7, ikan yang anda tangkap sudah busuk. Warna airnya berubah, banyak terlihat ngengat, sebuah pertanda alam yang tidak seimbang. Singkong tidak tumbuh seperti dulu, malah banyak yang terkena penyakit.”

Kawasan kecil masyarakat yang dikelilingi oleh perkebunan sawit membuat pola hidup masyarakat tidak lagi layak. Mereka merasa seperti berada di 'penjara'. Komunitas São Gonçalves quilombola, misalnya, dikelilingi oleh perkebunan Agropalma. Korporasi memasang gerbang akses untuk mengontrol siapa yang masuk dan keluar, dan menggali parit yang dalam, sehingga menghalangi quilombola dan masyarakat adat untuk memasuki kuburan adat, tempat berburu, dan area penangkapan ikan di dalam wilayah yang dikuasai oleh Agropalma.

Menurut seorang pemimpin Turiwara: “Mereka tidak suka kami turun [sungai] untuk melakukan apa pun, seperti menangkap ikan, kami tidak bisa lagi melakukan itu, jadi hal itu sangat mempengaruhi kami, memang benar. Kami ingin melakukan sesuatu atas situasi ini, itu sebabnya kami ada di sini, kami merasa sangat dipermalukan oleh perusahaan ini, hewan-hewan jatuh ke dalam parit, sekarat.”

Jaringan pipa bijih yang melintasi wilayah tersebut menimbulkan konflik. Salah satunya, jaringan yang mengangkut bauksit dari Paragominas ke Barcarena, adalah milik perusahaan Hydro, yang dikendalikan oleh perusahaan Norwegia Norsk Hydro, yang pemilik utamanya adalah Negara Norwegia. (10) Pada tahun 2023, Kantor Pembela Umum Pará meminta penangguhan pengerjaan pipa Hydro karena adanya penyimpangan dalam perizinan. Komunitas Quilombola mengeluh kepada Kantor Pembela Umum bahwa mereka merasa seperti 'pengungsi' di wilayah mereka sendiri karena adanya tindakan ilegal dalam pekerjaan tersebut, dengan adanya pekerja dan truk yang transit di wilayah mereka. (11) Pipa bijih lain yang melintasi wilayah tersebut adalah milik perusahaan multinasional Prancis, Imerys; yang mengangkut kaolin dari Ipixuna ke Barcarena. (12) Selain proyek-proyek tersebut, proyek baru yang dihadapi oleh masyarakat adalah Kereta Api Paraense, yang rutenya dari selatan Pará ke Barcarena, dan akan digunakan oleh pemerintah negara bagian untuk mendorong perkebunan monokultur dan ekspor kedelai.

Upaya membalikkan sejarah: memulihkan wilayah

Selama bertahun-tahun, masyarakat quilombola dan masyarakat adat mengecam invasi wilayah mereka dan semua dampak lain yang ditimbulkan oleh perusahaan. Namun, sikap korporasi selalu menolak dampak yang ditimbulkan, dan berupaya mencapai kesepakatan dengan janji-janji proyek sosial. Menurut masyarakat adat dan quilombola, janji-janji ini tidak sepenuhnya ditepati dan, yang lebih penting, tidak menyelesaikan pertanyaan kunci: hilangnya demarkasi wilayah mereka.

Meskipun terdapat 'sumbangan' oleh Imeris sebesar 500 hektar kepada masyarakat Tembé pada akhir tahun 1990an dalam upaya menyelesaikan konflik dengan masyarakat, sebagian besar tanah masih berada di tangan perusahaan skala besar dengan dukungan dari Negara Brazil. Cukuplah untuk membandingkan 240.000 hektar yang berada di tangan BBF dan Agropalma dengan luas tanah adat yang secara resmi dibatasi oleh Negara Brazil di wilayah tersebut, yaitu Tanah Adat Turê-Mariquita masyarakat Tembé: 147 hektar. Ini adalah demarkasi resmi tanah adat terkecil di Brasil.

Karena lelah menunggu, pada tahun 2021 komunitas Tembé dan quilombola mulai berjuang untuk merebut kembali tanah mereka, yang saat ini berada di tangan BBF dan Agropalma, untuk memastikan kepemilikan setidaknya sebagian wilayah tempat mereka diusir di masa lalu. Di tengah proses ini, suku Turiwara secara terbuka menyatakan identitas mereka, menuntut tanah di sepanjang Sungai Acará tempat nenek moyang mereka ditemukan oleh ahli biologi Jerman Meerwarth pada tahun 1899. (13) Mereka bergabung dengan sesama masyarakat adat Tembé, seperti yang dijelaskan oleh pemimpin Turiwara: “Saya Turiwara, berdasarkan nenek moyang kami dari pihak ibu saya, kami adalah Turiwara. Ada orang Turiwara tapi ada juga orang Tembé, kami beragam, tapi bersatu.”

Saat ini, salah satu rujukan utama perlawanan adalah Movimento IRQ (Indigenous, Riverine dan Quilombola), yang berupaya menyatukan dan memperoleh dukungan lebih kuat bagi perjuangan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh salah satu pemimpinnya: “Kami berjuang untuk menjamin semua hak-hak kami, namun saat ini perjuangan dan tantangan terbesar kami adalah menjamin hak atas wilayah kami. Inilah sebabnya mengapa Gerakan ini diciptakan, sehingga kami dapat menyuarakan suara kami, dan didengar oleh pihak berwenang untuk menyelesaikan masalah teritorial yang kami, sebagai masyarakat adat, quilombola, dan penduduk sungai alami saat ini, ketika wilayah kami diserang oleh monokultur sawit, seperti Brasil Biofuels, dan oleh perusahaan pertambangan, seperti Hydro.”

Pemimpin ini menggarisbawahi partisipasi perempuan: “Partisipasi perempuan masyarakat adat, masyarakat sungai dan quilombola adalah cara kami menunjukkan bahwa perjuangan kami adalah untuk keluarga kami, untuk masyarakat kami secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa perjuangan kami adalah untuk menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang dan bahwa hak-hak generasi mendatang harus terjamin. Partisipasi kami sebagai perempuan adat dalam Gerakan ini dimaksudkan untuk menyatukan kekuatan dengan para pejuang dan menjamin hak generasi masa depan kami.”

Suku Tembé, Turiwara dan quilombola telah meminta lembaga resmi untuk segera melakukan demarkasi tanah mereka. Dalam kasus masyarakat adat, badan yang dimaksud adalah FUNAI, badan federal urusan adat. Dan dalam kasus komunitas quilombola, badan yang dimaksud adalah INCRA, badan pengatur tanah federal, dan ITERPA, badan tanah negara bagian Pará. Selain itu, komunitas petani juga berada dalam perjuangan yang sama untuk memastikan kepemilikan tanah mereka dalam menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh perluasan perkebunan kelapa sawit.

Perjuangan komunitas petani Virgílio Serrão Sacramento

Komunitas petani yang tinggal di wilayah tersebut telah merebut kembali tempat tinggal dimana mereka dulu pernah diusir oleh para penebang dan peternak, melalui proses perampasan tanah. Salah satu contohnya adalah keluarga-keluarga dari komunitas Virgílio Serrão Sacramento di kotamadya Mojú. Pada akhir tahun 2015, beberapa keluarga berkumpul untuk menempati kembali wilayah mereka yang dulunya hilang karena perampasan tanah. Motivasinya adalah ancaman BBF untuk mengambil alih lahan guna memperluas perkebunannya di sekitar Mojú. Selain itu, keluarga tersebut yakin bahwa tanah tersebut milik publik. Oleh karena itu, seharusnya berpihak pada keluarga petani dan bukan perusahaan swasta seperti BBF.

Setelah dihuni kembali, keluarga tersebut meminta kepada ITERPA untuk mengatur pemukiman seluas 700 hektar. Namun, proses tersebut terhenti pada tahun 2020, ketika BBF diberikan penetapan sementara awal oleh pengadilan, yang memerintahkan penyitaan kembali wilayah tersebut untuk kepentingan perusahaan. Namun hal itu tidak sempat terjadi karena pihak keluarga berhasil membuktikan bahwa BBF menggunakan akta tanah yang tidak sah. Pada pertengahan tahun 2023, BBF kembali memperoleh penetapan sementara yang baru oleh pengadilan yang memerintahkan keluarga tersebut untuk mengosongkan daerah tersebut. Saat ini, kasus tersebut sedang dianalisis oleh Komisi Konflik Pertanahan negara bagian Pará. Keluarga-keluarga tersebut menuntut agar ITERPA melakukan inspeksi terhadap wilayah tersebut untuk mengungkapkan bahwa tanah tersebut adalah milik masyarakat dan oleh karena itu, harus secara hukum diberikan kepada keluarga-keluarga tersebut.

Sambil meluap-luap, seorang anggota masyarakat mengatakan: “Kami membangun segalanya di sini: rumah kami, kebun sayur-sayuran, tanaman kami, hewan kami, untuk kelangsungan hidup kami. Saat ini, keluarga-keluarga tersebut hidup dari segala sesuatu yang mereka bangun, secara kolektif, dan bekerja dengan penuh kasih sayang, menjaga tanah, menghormati lingkungan, segala sesuatu yang hidup di alam. Saat ini, keluarga-keluarga ini sangat membutuhkan tanah ini untuk melanjutkan hidup, kehidupan sehari-hari, membantu keluarga, membantu komunitas lain yang membutuhkan dukungan dari kami. Saat ini, BBF sedang mencoba untuk merampas tanah keluarga tersebut melalui putusan pendahuluan, sementara ada banyak tanda-tanda perampasan tanah yang telah dilakukan BBF di seluruh negara bagian Pará, dan melalui hal ini BBF mencoba untuk mengusir keluarga dari tanah mereka; apa yang terjadi sungguh menyedihkan. Masyarakatnya berada di tanah publik, milik negara, jadi kalau tanah tempat tinggal keluarga itu milik umum, pemerintah negara perlu memberikan dukungan, untuk memihak kepada masyarakat. Di sini kami menyatakan penolakan kami terhadap situasi ini; semoga pihak berwenang datang ke sini dan membantu kami mempertahankan diri, agar dapat hidup di sini sebagai sebuah komunitas.”

Pembiaran negara di tengah kekerasan yang ekstrim dan struktural

Sejak pendudukan kembali lahan dimulai pada tahun 2021, masyarakat telah menghadapi praktik kekerasan yang dilakukan oleh beberapa kelompok bersenjata, termasuk kepolisian negara, penjaga keamanan swasta dan milisi perusahaan, serta kejahatan terorganisir. Ancaman pembunuhan, penghinaan dan bahkan rasisme yang ditujukan oleh sebagian kelompok masyarakat terhadap komunitas Tembé, Turiwara dan quilombola telah meningkat dan sangat mengerikan. Mereka bahkan dituduh menghambat pembangunan. Pengaduan dan laporan polisi yang berulang kali diajukan oleh masyarakat sia-sia. Para pemimpin masyarakat terus menerus menegaskan: “Agropalma dan BBF tidak mengekspor minyak sawit, mereka mengekspor darah kami”.

BBF khususnya telah meluncurkan kampanye untuk mengkriminalisasi masyarakat dengan mengajukan ratusan laporan pada kepolisian terhadap anggota masyarakat, menuduh mereka melakukan kejahatan seperti perilaku mengancam, pencurian, perampokan, pemerasan dan tindak pidana pengrusakan, (14) dan menunjukkan bahwa tujuan masyarakat adalah memiliki akses terhadap perkebunan kelapa sawit. Mengenai hal ini, seorang pemimpin Turiwara menyatakan: “Mereka terus mempermalukan masyarakat dengan mengatakan bahwa kami tidak akan mendapatkan sawit karena itu milik mereka. Jadi, saya sampaikan satu hal, kami tidak peduli pada sawit, kami tidak peduli pada apa pun yang ada di dalam sana, kami hanya peduli pada wilayah kami, wilayah kamilah yang kami inginkan, kami hanya ingin masuk ke dalam apa yang menjadi milik kami, yaitu rumah kami."

Di tengah memburuknya konflik tanah, sikap lembaga sertifikasi internasional RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) telah berkolusi dengan perusahaan-perusahaan minyak sawit. Setelah sempat menangguhkan segel 'hijau' Agropalma akibat konflik, RSPO segera mengembalikan segel perusahaan ini pada Juni 2023. (15)

Salah satu dari banyak episode kekerasan terjadi pada malam KTT Belém pada bulan Agustus 2023. Pertemuan ini mempertemukan para presiden negara-negara Amazon, yang bertemu kurang dari 200 km dari wilayah tersebut. Antara tanggal 4 dan 7 Agustus, terjadi upaya pembunuhan terhadap empat orang Tembé yang berjuang merebut kembali wilayah dari tangan BBF di Tomé-Açu. (16)

Saat mengunjungi wilayah tersebut pada kesempatan itu, Dewan Hak Asasi Manusia Nasional (CNDH) meminta, antara lain: mendesak pembentukan unit manajemen krisis oleh Kantor Sekretaris Jenderal Kepresidenan Republik; perubahan dalam pasukan polisi yang bertugas menjaga keselamatan publik di Tomé-Açu dan Acará; pembentukan kelompok kerja oleh FUNAI untuk demarkasi tanah adat; dan bahwa INCRA dan ITERPA melakukan hal yang sama untuk memberikan hak atas tanah mereka kepada quilombola. (17) Asosiasi Antropologi Brasil (ABA) mengirimkan surat resmi kepada pihak berwenang mengenai episode yang sama, meminta segera dimulainya kembali proses regularisasi wilayah adat dan quilombola, serta penyelidikan mekanisme kriminalisasi tokoh dan pemimpin masyarakat, penangguhan insentif bagi perusahaan yang terlibat dalam kekerasan, dan tindakan lainnya. (18)

Hampir setengah tahun kemudian, ditemukan bahwa praktis tidak ada satupun rekomendasi yang dibuat oleh CNDH dan ABA yang dilaksanakan. Bahkan pengerahan Pasukan Keamanan Publik Nasional di wilayah tersebut tidak dapat mencegah meningkatnya kekerasan dalam beberapa bulan terakhir.

Pada tanggal 10 November 2023, Agnaldo da Silva, anggota masyarakat adat Turiwara, dibunuh oleh penjaga keamanan Agropalma di dalam tanah yang diklaim perusahaan, menurut kecaman yang dibuat oleh kelompok masyarakat adat tempat Agnaldo berasal. (19) Sejak Desember 2023, Movimento IRQ telah mengajukan pengaduan kepada pihak berwenang mengenai invasi dan serangan kekerasan yang dialami masyarakat serta ancaman pembunuhan terhadap para pemimpin mereka. Pada tanggal 14 Desember, empat orang anggota masyarakat quilombola diserang dengan senjata api; untungnya, tidak ada yang terbunuh. Miriam Tembé, seorang pemimpin Tembé dan tokoh panutan dalam perebutan tanah, ditangkap pada tanggal 3 Januari 2024, dengan indikasi kuat bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk mengkriminalisasi dan melemahkan IRQ Movimento. (20) Indikasi tersebut antara lain adalah perintah yang eksplisit, inkonstitusional dan tidak masuk akal dari Hakim José Reinaldo Pereira Sales yang mewajibkan pembebasan bersyarat yaitu agar dia tidak lagi menjadi ketua komunitasnya. (21) Gerakan ini telah memperingatkan bahwa mereka khawatir akan terjadi lebih banyak kekerasan dan penangkapan terhadap para pemimpinnya.

Kelalaian Negara dalam menghadapi situasi ini tidak dapat diterima. Pemenangnya adalah perusahaan-perusahaan yang disebutkan dalam artikel ini. Di mata mereka, masyarakat merupakan 'hambatan' bagi kegiatan-kegiatan mereka yang menguntungkan dan rencana ekspansi mereka. Jelasnya, situasi kekerasan dan kriminalisasi yang terus-menerus dan ekstrim mempengaruhi kapasitas masyarakat adat dan quilombola untuk berorganisasi, bersatu dan terus memperjuangkan demarkasi wilayah mereka.

Untuk menghentikan pertumpahan darah dan membendung bentuk-bentuk kekerasan lainnya, rekomendasi yang terkandung dalam dokumen CNDH dan ABA perlu segera dilaksanakan oleh pihak berwenang. Kami ingin menekankan rekomendasi agar wilayah yang merupakan hak milik masyarakat Tembé dan Turiwara, serta komunitas quilombola dan petani harus dibatasi batasnya oleh badan-badan negara bagian dan federal yang relevan.

Terakhir, seluruh solidaritas kami terhadap Tembé, Turiwara, dan quilombola, yang menjadi korban praktik kekerasan yang terjadi saat ini.

(Untuk alasan keamanan, nama orang yang memberikan kesaksian untuk artikel ini tidak diungkap).

 

(1) CEDI, 1985. Povos Indígenas no Brasil, Sudeste do Pará (Tocantins), Vol. 8, coord: Carlos Alberto Ricardo; and Carneiro Tuly, João Paulo, 2017. “Tensões territoriais na Amazônia Paraense, o povo indígena Tembê-Turê-Mariquita no município de Tomê-Açu”. Dissertation.
(2) A modern-day form of slavery, where workers were submitted to dependency and unending debt to the proprietor.
(3) Quilombolas e indígenas nos processos de territorialização no Rio Alto Acaré, 2022. Rosa Acevedo Marin, Elielson Pereira da Silva and Maria da Paz Saavedra, pp. 102-126. In: Quilombolas: direitos e conflitos em tempos de pandemia, 2023 (eds,: Ana Paula Comin de Carvalho, Osvaldo Martins de Oliveira, Raquel Mombelli)
(4) https://www.grupobbf.com.br  and https://www.agropalma.com.br/
(5) Global Witness, A Sombra do Dendê, 2022.
(6) The Guardian, The multinational companies that industrialised the Amazon rainforest, June 2023
(7) Reporter Brasil, Cercados pelo dendê, povos tradicionais vivem terror em disputa fundiária com produtora de biodiesel, agosto 2022
Avispa Media, Palma e Conservação: aliadas na expulsão de comunidades na Amazônia brasileira, maio 2023  
Agência Publica, Com inércia do governo, empresas do dendê avançam sobre terras públicas da Amazônia, agosto 2022
Metrópoles, Ouro líquido: Produção de dendê explora populações negras e indígenas no Brasil, Novembro 2022
Mongabay Brasil, Exportadora de óleo de palma acusada de fraude, grilagem de terras em cemitérios quilombolas, Dezembro 2022
(8) Grain, Toxic river: the fight to reclaim water from oil palm plantations in Indonesia, December 2020  
(9) Mongabay Brasil, Desmatamento e água contaminada: o lado obscuro do óleo de palma ‘sustentável’ da Amazônia, 2021
(10) WRM Bulletin, Brazil: Hydro Alunorte’s Alumina Tailings Dam. A Disaster Foreshadowed, November 2019
(11) Globo.com, Ação quer suspender obras de mineroduto dentro de área quilombola no Pará, Outubro 2023
(12) Carneiro Thury, João Paulo, 2017. Tensões territoriais na Amazônia Paraense: o povo indígena Tembé-Turé-Mariquita no município de Tomê Açu. Master’s dissertation.
(13) Globus, Illustrierte Zeitschrift für Land und Völkerkunde, 1904. Eine Zoologische Forschungsreise nach dem Rio Acará im Staate Pará (Brasilien), H. Meerwarth.
(14) MPF/PA. Recommendation 18/2023 ino Civil Inquiry 1.23.000.000550/2021-10.
(15) Agropalma, 2023. Note of clarification about story published by the website ver-o-fato.com.br.
(16) MPF/PA. Recommendation 18/2023 in Civil Inquiry 1.23.000.000550/2021-10.
(17) CNDH, Recommendation No. 16, of August 8, 2023
(18) ABA, Letter No. 041/2023/ABA of August 9, 2023.
(19) BT Mais, Indígena morre baleado por seguranças de empresa em Tailândia (Pará, Brasil), denuncia etnia Turiwara, Novembro 2023
(20) Carta Em Solidadariedade À Cacica Miriam Tembé 
(21) Criminal Suit 0802666-85.2023.8.14.0060; decision of January 26, 2024.