(Bahasa Indonesia) Pembakaran Hutan dan Korban yang Dihukum. Tragedi Komunitas Adat Delang di Lamandau, Kalimantan Tengah

(English, EspañolPortuguêsFrançais )

Bila anda melakukan perjalanan dari kota Palangkaraya sampai ke kota Nangabulik, ibukota kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, anda akan melihat lanskap tunggal berupa perkebunan sawit. Kalau perjalanan itu anda lanjutkan sampai ke perbatasan Kalimantan Barat, anda akan jumpai satu kawasan perbukitan dengan hutan yang masih agak rapat. Di situ bermukim komunitas adat Delang. Delang adalah juga nama kecamatan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kecamatan ini merupakan kawasan penyangga bagi Kabupaten Lamandau karena di dalamnya ada area hutan lindung dan Bukit Sebayan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh para leluhur penganut agama lokal Kaharingan.

Komunitas adat Delang sejak lama dikenal sebagai komunitas yang gigih menolak berbagai investasi yang berdampak pada perusakan hutan dan lingkungan. Di saat mayoritas desa-desa di Kabupaten Lamandau dan Kalimantan Tengah pada umumnya sudah dihabisi hutannya, masyarakat adat Delang dengan kearifannya memilih untuk berjibaku menjaga hutan dan wilayah adat mereka dari serbuan investasi yang merusak lingkungan, termasuk perkebunan sawit, pertambangan dan HPH. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari pilihan mereka. Pertama, investasi membuat mereka harus menyerahkan tanah dan ruang kehidupan mereka. Kalau tanah diserahkan ke orang lain (investor), maka anak cucu mereka kelak akan menjadi kuli. Kedua, mereka tak ingin hidup seperti masyarakat di desa-desa sawit yang kehilangan banyak hal vital dalam kehidupan mereka, seperti sungai, air bersih, hutan, ladang dan pangan lokal, dan lainnya.

Sejak Indonesia belum terlahir hingga sekarang, masyarakat adat Delang sudah berkontribusi menjaga kelestarian hutan. Namun ironisnya bukan penghargaan yang mereka terima melainkan hukuman. Hukuman itu ditimpakan pemerintah pada mereka dalam bentuk larangan berladang dengan membakar sesuai kearifan lokal. Larangan ini merupakan dampak dari bencana kebakaran hebat yang melanda berbagai provinsi di Indonesia di tahun 2015.

Larangan berladang dengan membakar dipaksakan pemerintah tanpa ada pengecualian dan tanpa disertai solusi. Padahal berladang dengan kearifan lokal dilindungi oleh Pasal 62 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengijinkan masyarakat adat untuk berladang dengan membakar sesuai kearifan lokal, yaitu luasan maksimum 2 hektar per Kepala Keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dengan sekat bakar agar api tidak menjalar.

Larangan berladang dengan membakar yang tanpa disertai solusi adalah tragedi bagi masyarakat Delang. Betapa tidak. Dalam kasus pembakaran hutan dan lahan, posisi masyarakat Delang adalah korban. Sebagai korban, bukan bantuan untuk pemulihan atau kompensasi yang mereka dapatkan melainkan hukuman. Bukan solusi yang dikirimkan pemerintah agar masyarakat Delang bisa berladang tanpa membakar tetapi polisi dan tentara yang terus mengintimidasi mereka dengan ancaman hukuman penjara hingga belasan tahun, meneror mereka dengan helikopter yang menyedot air dari kolam-kolam ikan mereka dan menjatuhkan bom-bom air di ladang-ladang mereka.

Pembakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah

Masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Pada 1997/1998 Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan yang meliputi wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua, dimana lebih dari 2.000.000 ha lahan gambut telah terbakar dan diduga menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar bagi perubahan iklim global.1 Tahun 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan, dengan luasan mencapai 1,7 juta hektar.2 Dari luasan tersebut, 770.000 hektar berada di Kalimantan Tengah dengan 35,9% di antaranya adalah lahan gambut.3

Di Kalimantan Tengah, provinsi di mana masyarakat adat Delang berada, kebakaran hutan dan lahan mulai terjadi pada 1992. Kebakaran ini terkait dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur.4 Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tak terlepas dari tiga persoalan besar yang saling terkait, yaitu (1) tingginya deforestasi dan lahan kritis akibat pembalakan hutan, (2) ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali dan (3) pola penguasaan lahan oleh korporasi yang terlalu luas.

Pertama, terkait deforestasi, Badan Pengelola Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation Plus (REDD+) mencatat, 80 persen hutan di Kalimantan Tengah telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan.5 Ini membuat Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan angka deforestasi tertinggi di Indonesia. Angka deforestasi di Kalimantan Tengah pada periode 2006-2009 mencapai 128.648 hektar per tahun6.

Hilangnya hutan meningkatkan luasan lahan kritis. Data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2010 menunjukkan, luas lahan kritis di Kalteng mencapai tujuh juta hektar lebih. Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Kahayan menegaskan, dari luas hutan Kalteng yang tersisa saat ini, sekitar 7,27 juta mengalami kerusakan, dengan laju kerusakan mencapai 150.000 Ha per tahun.7 Kondisi ini membuat Kalimantan Tengah rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Hutan-hutan tropis basah yang belum ditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran (Schindler dkk., 1989).8 Terkait dengan lahan kritis, Pemerintah Kalimantan Tengah membuat kebijakan memanfaatkan lahan kritis untuk perkebunan sawit. Namun faktanya, bukan hanya lahan kritis yang berubah jadi perkebunan sawit, hutan alam yang belum terganggu pun diubah menjadi perkebunan sawit.9 Berbagai proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem yang rentan terhadap kebakaran. Perubahan yang mendasar ini, ditambah dengan terjadinya fenomena iklim El Niño, telah menyebabkan peledakan kebakaran hebat yang terjadi selama 20 tahun terakhir ini.10

Kedua, terkait ekspansi perkebunan sawit, korporasi perkebunan sawit mulai beroperasi di Kalimantan Tengah tahun 1992. Dengan dibuatnya Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 1993 tentang Tata Ruang Kalimantan Tengah, investor perusahaan sawit mendapatkan kemudahan untuk berinvestasi di wilayah Kalteng.11 Perluasan area tanam kelapa sawit dilakukan secara besar-besaran dan tanpa kendali, dengan mengonversi lahan hutan dan lahan pertanian, termasuk di dalamnya adalah lahan gambut. Pemberian ijin yang tidak terkendali jelas terlihat dari luasan ijin untuk perusahaan perkebunan dan pertambangan yang melebihi atau hampir menyamai luasan kabupaten. Pada 2012 setidaknya ada lima kabupaten yang total luasan ijin yang diberikan pada perusahaan melebihi atau hampir menyamai luasan kabupatan. Salah satunya adalah Kabupaten Lamandau, di mana masyarakat adat Delang berada. Dengan luas wilayah 641.400 hektar, Kabupaten Lamandau memberikan ijin pada korporasi seluas 530.526 hektar. Kabupaten Barito Utara dengan total ijin seluas 1.452.468 hektar, sementara luas kabupaten hanya 830.000 hektar. Kabupaten Kapuas total luas ijin 1.761.579 hektar sementara luas wilayahnya hanya 1.499.900 hektar. Kabupaten Gunung Mas, misalnya, total luas ijin 996.251 hektar dengan luas wilayah 1.080.400 hektar. Kabupaten Barito Timur total ijin 359.043 hektar dengan luas wilayah 383.400 hektar.12

Ketiga, terkait penguasaan lahan oleh korporasi, WALHI Kalimantan Tengah mencatat, dari 15,3 juta hektar luas Kalteng, 12,7 juta hektar (lebih dari 80 persen) dikuasai investor, baik HPH, perkebunan sawit maupun pertambangan.13 WALHI Kalimantan Tengah menegaskan bahwa seperti halnya di provinsi lain, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah terjadi karena pola penguasaan lahan oleh korporasi yang terlalu luas. Tahun 2015, Walhi mencatat ada 17.676 titik api di Kalimantan Tengah dan mayoritas berada di area konsesi perusahaan.

Studi yang dilakukan Pasaribu, S. M dan Friyatno Supena (2008) menjelaskan, penyebab kebakaran lahan di Kalimantan berkaitan dengan landclearing untuk persiapan penanaman komoditas perkebunan. Perladangan tradisional (sistem gilir balik) juga memberikan kontribusi dalam pembakaran lahan, tetapi hanya 20% dari total keseluruhan yang terbakar.14

Masyarakat Adat sebagai Tameng

Mayoritas pembakaran hutan dan lahan melibatkan korporasi. Ini tampak dari data satelit NOAA, Terra dan Aqua yang menunjukkan, kebakaran hutan dan lahan banyak terjadi di dalam konsesi perusahaan-perusahaan besar. Meski demikian upaya penegakan hukum masih minim. Walhi Kalimantan Tengah mencatat, baru 30 korporasi yang disidik dan 10 yang disegel tetapi belum jelas tindak lanjutnya seperti apa.15 Di tingkat nasional pemerintah telah mendaftar 413 perusahaan yang diindikasi melakukan pembakaran hutan di lahan seluas 1,7 juta hektar dan dari jumlah tersebut 14 perusahaan sudah dikenai sanksi. Namun WALHI menegaskan, penegakan hukum belum mengarah ke aktor besar yang mengakumulasi praktik besar pembakaran hutan. Grup besar yang seharusnya disasar dalam upaya penegakan hukum di antaranya Grup Wilmar, Best Agro International, Sinar Mas, Musimas, Minamas, dan Julong Grup. Mereka ini mengakumulasi dari pemilikan lahan, membeli CPO dari perusahaan menengah dan kecil, hingga mendapatkan keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan. Pemberian sanksi atau proses hukum oleh pemerintah dinilai masih tebang pilih dan tidak merata.16 Terkait pelaku pembakaran di Kalimantan Tengah, WALHI mencatat adanya grup besar perusahaan yang terlibat dalam pembakaran, yaitu Sinar Mas dan Wilmar.17

Membakar merupakan cara membuka lahan yang hemat biaya dibandingkan membuka lahan dengan alat-alat mekanis. Ini diakui oleh Agro Indomas, salah satu perusahaan yang beroperasi di Kalimantan Tengah. Menurutnya, pembukaan lahan dengan alat mekanis butuh biaya dua kali lipat lebih mahal dari membuka lahan dengan membakar.18 Investor dapat dengan mudah mempekerjakan masyarakat sekitar untuk membuka lahan hutan dengan membakar dan masyarakat mendapat imbalan atas apa yang dikerjakan.19

Riset yang dilakukan Bambang Hero, dosen Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor tahun 2015 menemukan, masih banyak korporasi yang memanfaatkan penduduk lokal untuk membuka lahan dengan membakar. Perusahaan menjadikan masyarakat sebagai tameng perusahaan dari jeratan hukum untuk bisa membakar hutan dan lahan. Mereka memanfaatkan warga lokal untuk membakar hutan agar tidak dapat diproses hukum. Warga lokal dijadikan tameng. Ketika tim verifikasi datang, perusahaan mengklaim bahwa lahan yang dibakar itu lahan milik masyarakat. Selang enam bulan kemudian lahan yang awalnya diklaim milik masyarakat sudah berpindah kepemilikan oleh korporasi dan warga yang membakar lahan itu menghilang.20

Selain menjadikan masyarakat lokal sebagai tameng, ada upaya sistematis untuk mengalihkan isu dari kejahatan korporasi menjadi kejahatan individu dengan menjadikan masyarakat adat atau warga lokal sebagai kambing hitam pembakaran hutan dan lahan. Aturan yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat dalam berladang dijadikan dalih untuk menggiring opini publik ke arah pengalihan tanggung jawab pembakaran hutan pada masyarakat adat. Padahal Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dengan jelas mengatakan bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Alih-alih fokus pada upaya penegakan hukum dengan memaksimalkan penggunaan instrumen yang ada, pemerintah lebih memilih untuk menghukum masyarakat adat, tak terkecuali masyarakat adat Delang, atas kejahatan lingkungan yang tidak mereka lakukan. Pemerintah menetapkan pelarangan total membuka lahan dengan membakar tanpa pengecualian. Pelarangan itu tidak disertai dengan solusi tentang bagaimana masyarakat adat dapat berladang tanpa membakar. Peraturan gubernur Kalimantan Tengah yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat Dayak dalam berladang dicabut melalui Pergub Nomor 15 tahun 2015. Plang larangan membakar disertai ancaman penjara dipasang di sudut-sudut jalan. Tentara dan polisi dikerahkan ke desa-desa untuk mengawasi dan mengintimidasi warga. Kelompok masyarakat adat yang nekat membakar lahan untuk berladang diteror dengan bom-bom air yang dijatuhkan dari helikopter. Ironisnya, air untuk mengebom diambil dari kolam-kolam ikan milik warga. Sudah tak bisa berladang, ikan-ikan mereka pun dibunuh dengan disedot airnya.

Korban yang Dihukum

Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, masyarakat adat Delang adalah korban yang terpapar oleh asap dan terkena berbagai dampak dari ekspansi industri perkebunan sawit. Ekspansi industri perkebunan sawit yang tak terkendali di Kalimantan Tengah turut andil dalam menciptakan tekanan ekonomi yang dialami masyarakat Delang.

Sejak 10 tahun terakhir masyarakat adat Delang menghadapi tekanan ekonomi akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, di antaranya dalam bentuk (1) jatuhnya harga karet, (2) perampasan ruang hidup melalui penetapan status desa sebagai kawasan hutan, (3) deforestasi dan perubahan iklim, (4) monokulturisasi pertanian dengan perkebunan sawit dan (5) degradasi lingkungan akibat pembalakan liar oleh perusahaan pembalakan (HPH).

Pertama, jatuhnya harga karet. Karet adalah sumber ekonomi utama masyarakat adat Delang selain padi, jengkol dan buah-buahan. Para warga masyarakat Delang menengarai, sejak pemerintah melarang ekspor karet mentah, harga karet terus merosot. Harga karet jatuh dari Rp 20.000 menjadi Rp 5.000 – Rp 6.000 sejak 2009. Rendahnya harga karet membuat daya beli masyarakat terus merosot karena harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat.

Kedua, perampasan ruang hidup melalui penetapan status desa sebagai kawasan hutan. Pada 2012 pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 529/2012 tentang Penetapan Kawasan Hutan. Keluarnya SK ini membuat wilayah kelola masyarakat adat Delang di beberapa desa berubah status menjadi kawasan hutan. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan sebagian ruang kehidupannya, termasuk kebun, ladang dan hutan. Penetapan kawasan hutan yang semena-mena ini sungguh ironis. Di satu sisi pemerintah merampas hutan dan lahan masyarakat adat untuk dijadikan hutan negara, di sisi lain jutaan hektar hutan dan lahan negara diberikan pemerintah pada korporasi sawit, tambang dan HPH.

Ketiga, deforestasi dan perubahan iklim. Pemberian ijin yang berlebihan dan tanpa kendali pada korporasi berdampak pada tingginya deforestasi. Hilangnya hutan membawa perubahan pada iklim dan membuat waktu berladang kian tak menentu. Ini menyulitkan masyarakat dalam berladang. Selain itu musim hujan yang semakin panjang dan musim kering yang berlebihan di waktu yang lain membuat produktivitas lahan merosot dan bahkan sering terjadi gagal panen. Hasil padi yang dulu bisa memenuhi kebutuhan beras selama setahun dan bahkan lebih, kini tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan setahun. Ini diperburuk oleh adanya serangan hama.

Keempat, monokulturisasi pertanian dengan perkebunan sawit. Masyarakat adat Delang yang berada di perbatasan provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dikepung oleh perkebunan sawit dari dua arah. Meskipun tidak bertanam sawit namun mereka terkena dampak dari sistem monokultur sawit. Sebelum ada banyak perkebunan sawit, padi tumbuh baik dan hasilnya baik, tidak ada hambatan dalam berladang dan tidak mengenal yang namanya hama. Sejak maraknya perkebunan sawit, muncul hama tikus dan belalang yang menyerang ladang-ladang warga. Serangan hama tikus dan belalang kini menjadi persoalan serius. Selain serangan hama, maraknya perkebunan sawit juga berdampak pada merosotnya produktivitas madu dan kebun buah-buahan. Semakin sedikit lebah yang bersarang di pohon-pohon madu mereka dan semakin sulit madu didapatkan. Hilangnya lebah juga berdampak pada kebun buah-buahan mereka yang selama beberapa tahun terakhir tak lagi banyak menghasilkan.

Kelima, degradasi lingkungan akibat pembalakan liar oleh perusahaan HPH. Masyarakat adat Delang selama ini menolak kehadiran perusahaan-perusahaan yang aktivitasnya destruktif terhadap lingkungan, termasuk perusahaan sawit, tambang dan HPH. Namun sejak ada dua perusahaan HPH beroperasi di daerah yang berbatasan dengan Delang, masyarakat Delang menghadapi masalah pembalakan liar oleh dua perusahaan HPH. Dampak dari pembalakan liar ini adalah bencana kerusakan lingkungan dalam bentuk tanah longsor dan pendangkalan sungai.

Lima masalah besar yang dihadapi masyarakat adat Delang hingga kini belum ada solusinya. Ekonomi warga Delang terus terpuruk. Akibatnya, semakin banyak warga yang menjual tanah untuk mengatasi tekanan ekonomi. Dalam kondisi demikian pemerintah bukannya memberikan bantuan yang meringankan tetapi justru menambah beban masyarakat adat dengan memaksakan larangan berladang dengan membakar tanpa disertai solusi. Ketakutan warga akan intimidasi tentara dan polisi membuat mayoritas warga hanya berladang sebisanya dan tak sedikit yang mengalami kegagalan. Hanya mereka yang berani saja yang bisa terus berladang dengan membakar. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, semakin banyak warga yang mencari kerja upahan di luar desa.

Masyarakat Delang merasa diperlakukan tidak adil. Mereka bukanlah pelaku pembakaran hutan dan lahan. Mereka membakar ladang sendiri. Ladang bukanlah lahan. Ladang hanya sepetak kecil dengan luasan tak lebih dari satu hektar, sedangkan lahan luasannya puluhan hingga ratusan hektar. Berladang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, bukan untuk dijual. Selama ini tak ada masalah kebakaran hutan di daerah Delang akibat aktivitas mereka dalam berladang. Sebab pada masyarakat adat Delang (dan masyarakat Dayak pada umumnya), berladang dengan membakar “dipagari” dengan ketentuan adat yang ketat dan denda yang berat bagi pelanggarnya. Kemampuan setiap rumahtangga untuk berladang tidak mencapai satu hektar dan pembakaran dilakukan secara bergotong royong dengan mengikuti ketentuan adat yang ketat. Bandingkan dengan korporasi yang bisa membakar ribuan hektar tanpa kemampuan untuk mengendalikan api.

Larangan untuk berladang sesuai kearifan lokal bukan hanya menghilangkan hak warga untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri dan hak atas pekerjaan, namun juga mematikan kehidupan sosial budaya masyarakat adat yang terpusat pada aktivitas berladang. Ini membuat masyarakat adat kian frustasi dalam menghadapi tekanan ekonomi. Frustasi dengan kebijakan pemerintah yang terus menekan mereka dan mempersempit ruang kehidupan mereka, masyarakat Delang memutuskan untuk “melawan”. Mereka terus berladang dengan membakar sesuai ketentuan adat tanpa mempedulikan risikonya. Masyarakat Delang sudah bersiap untuk masuk penjara secara bersama-sama. *** (Sri Palupi)

1 Adinugroho WC., I NN Suryadiputra, BH Saharjo, dan L Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia dalam Kebakaran Hutan Dan Lahan: Sebuah Tinjauan Analisis Kelembagaan

2 Karnawati. 2015. Pelajaran dari Kebakaran Hutan dan Lahan. http://nasional.kompas.com/read/2015/10/30/18000081/Pelajaran.dari.Kebakaran.Hutan.dan.Lahan

3 http://hutaninstitute.or.id/surat-terbuka-ngo-indonesia-kepada-pemerintah-republik-indonesia/
4 http://interseksi.org/archive/publications/essays/articles/pengaruh_sawit.html dalam Dilema Kebijakan Yang Pro Rakyat, Kritis, Vol. XXIV, No.2, 2015
5 http://www.antaranews.com/berita/466282/80-persen-hutan-kalimantan-tengah-beralih-fungsi
6 Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun 2011, Badan Planologi Kementrian Kehutanan, dalam Laporan Pemantauan Kejahatan Sektor Kehutanan di Wilayah Moratorium Kalimantan Tengah, WALHI Kalimantan Tengah
7 Kalimantan Pos, 27 April 2010
8 https://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_chap4_id.pdf
9 Lihat hasil riset the Institute for Ecosoc Rights di Kalimantan Tengah: “Palm Oil Industri and Human Rights, 2014”
10 https://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_chap4_id.pdf

Data
11 Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, 2009
12 Palangka Post, 1 Juni 2011 dalam The Institute for Ecosoc Rights, Palm Oil Industri and Human Rights, Jakarta 2014, page 16
13 Presentasi WALHI di depan tim peneliti The Institute for Ecosoc Rights di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Maret 2013
14 Dilema Kebijakan Yang Pro Rakyat, Kritis, Vol. XXIV, No.2, 2015

15 http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/berikut-korporasi-korporasi-di-balik-kebakaran-hutan-dan-lahan-itu/
16 www.gresnews.com/berita/hukum/101960-tebang-pilih-hadapi-korporasi-pembakar-lahan/
17 http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/berikut-korporasi-korporasi-di-balik-kebakaran-hutan-dan-lahan-itu/
18 https://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_chap4_id.pdf
19 https://www.academia.edu/21086380/Kebakaran_Hutan_Dan_Lahan_Sebuah_Tinjauan_Analisis_Kelembagaan

20 https://nasional.kompas.com/read/2016/08/30/18105451/perusahaan.pembakar.hutan.disebut.kerap.jadikan.masyarakat.sebagai.tameng