Bahasa Indonesia
Persetujuan pembangunan jalan di dalam Konsesi Restorasi Ekosistem pertama di Indonesiaterbukti nyata bertolakbelakang dari prinsip yang melekat dari konsesi tersebut. Sebagainegara yang memiliki citra internasional tentang kepedulian terhadap deforestasi,pemerintah malah terlibat dalam memndorong terbitnya kebijakan yang mengarah padadeforestasi yang semakin parah.
Kami mengundang organisasi –organisasi seperjuangan untuk menandatangani surat terbuka kepada anggota Dewan Green Climate Fund (GCF) hingga batas waktu Senin, 17 Agustus 2020.
BAHASA. Artikel ini menyoroti empat tren yang menjadi bukti bagaimana industri pertambangan mengeruk manfaat dari situasi pandem Covid-10 sembari melanjutkan agenda penghancurannya di seluruh kepulauan nusantara. Sementara korporasi-oligarki sedang berupaya membajak demokrasi, kediktatoran baru sedang menancapkan kakinya di bawah bendera kapitalisme pertambangan.
Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan bisnis dalam memulihkan deforestasi semakin menguat. Pada tahun 2004, LSM konservasi dan Kementerian Kehutanan Indonesia menginisiasi sebuah model yang dikenal dengan istilah Konsesi Restorasi Ekosistem. Artikel ini menyoroti lebih dekat pelaksanaan model tersebut dalam konteks ancaman lama dan terkini terhadap hutan Indonesia, serta dorongan global untuk ‘Restorasi hutan’.
Perusahaan minyak dan gas multinasional Shell mengklaim bahwa sangat mungkin untuk mendorong kebijakan ‘netral karbon’, toh pengurangan emisi pun cukup dilakukan dengan menanam pohon atau berinvestasi di kawasan hutan di belahan dunia lainnya. Akan tetapi pohon-pohon tersebut diharapkan tetap berdiri tegak untuk selamanya , dan sialnya, tepat di sini, letak permasalahnnya.
Bila anda melakukan perjalanan dari kota Palangkaraya sampai ke kota Nangabulik, ibukota kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, anda akan melihat lanskap tunggal berupa perkebunan sawit.
Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mengubah perempuan kehilangan tanah dan membeli makanan yang tumbuh di atas tanah mereka sendiri. Mereka menjadi tenaga kerja murah di perusahaan perkebunan, tanpa keselamatan dan perlindungan kesehatan yang memadai.
Para perempuan menderita berbagai jenis kekerasan yang dilakukan oleh majikan perusahaan perkebunan kelapa sawit, pasukan keamanan, polisi dan militer, yang kemudian memperkuat patriarki serta peran serta dalam hubungan mereka dengan masyarakat pada umumnya.